Hikmah Kebijaksanaan dan Politik Permusyawaratan

Budayawan Kabupaten Garut Asep Maher

Gurat-Garit-Garutan #2

Oleh: Asep Maher, Budayawan Kabupaten Garut

Bacaan Lainnya
banner 300600

DAYEUH MANEUH ;

LANGIT yang menaungi dan bumi melandasinya, diantaranya itu buana panca tengah sebagai Mandala keberadaan.

Langit tempat melinggih Dewa-Dewi yang ilahi dan bumi hunian tinggal para hewan, di buana tengah inilah manusia berada bersama dan membangun dunianya.

Dunia kemanusiaan adalah dunia kebijaksanaan, yang tak sekedar survival dan meneruskan ketrurunan, juga tidak mendaku kebenaran mutlak yang ilahi.

Maka pilihan takdirnya hanya jalan mencintai kebijaksanaan, untuk bersama dalam berkeutamaan sebagai syarat datangnya rasa bahagia.

Mandala utama itu dalam sebutan kiwari kita “Dayeuh Maneuh”. Aya nu Maneuh di Dayeuh. Ungkapan romantik ini membantu melukiskan keadaan dayeuh, “Lembur matuh banjar karang pamidangan”.

Satu tempat menetap dengan kemapanannya yang membuat kerasan lagi senantiasa bersolek budi nan nyantey. Sebuah alunan hidup dengan kenyamanan ruang dan ketenang-ceriaan suasana tergambar di sini.

Macam waktu luang dan suasana yang suka dicari hari ini untuk healing dan musti merogoh banyak uang, bagi kita yang penat terus bekerja mencari uang. Memang. kebijaksanaan yang bahagia itu hanya mungkin di waktu luang yang melupakan aktivitas uang, sambil membuang-buang uang.

Lalu apa yang Maneuh di Dayeuh, yang telah mapan di Mandala Utama itu? tak lain adalah Hikmah dan Kebijaksanaan. Yaitu hukum langit yang menuangi. Sebuah idea kebaikan ilahi sebagai cakrawala dunia manusia.

Idea langitan yang berusaha dicintai itu kini menjadi Nomos bagi dunia kemanusiaan. Hukum Ilahi yang senantiasa berhikmah dan menuntun kebijaksanaan.

Dayeuh Maneuh sebentuk Tatanan Hikmah Kebijaksanaan, yang menjaga tegak langit dan memelihara makmur bumi. Dengan laku hidup berkeutamaan dalam kebersamaan, maka pemenuhan kebahagiaan dan keadilan menjadi dimungkinkan.

Seperti Dayeuh Pasir Batang dalam pantun Lutung Kasarung putra Sunan Ambu dari Kayangan, saat membebaskan dayeuh dari cengkraman api “Buana Larang”, bahwa “Kahiyangan boga Landeuh, Pasir Batang boga Langit”.

Perilaku para warga dalam hikmah kebijaksanaan sebuah partisipasi di dayeuh. Ihwal menjaga, memelihara, mengembangkan dan mengantisipasi masa depan tatanan itu cara-cara para pemuka dayeuh.

Partisipasi dan cara yang terpaut dengan nilai-nilai keadaban, jadi estetika dan etika kewargaan. Dengan estetika dan etika kewargaan ini, terbuka untuk saling memberi isyarat akan hikmah dan kebijaksanaan. Kita sebut saja dengan kata hari ini ; Politik Permusyawaratan.

Tiba pada poin terkahir, bagaimana jika Daueuh Maneuh itu Garut kita? Dayeuh Garut pada masa lalunya, kini dan bagi masa depannya. Langit Garut masih menyimpan kenangan dayeuh, buminya masih subur harapan, hikmah kebijaksanaannya masih dipegang para pengampu.

Menunggu kemauna politik para pemuka kelompok tengah dayeuh untuk permusyawaratan, di masa transisi kepempinan Garut hari ini. Menjalankan politik permusyawaratan tatanan dayeuh sebelum politik elektoral.

Politik Permusyawaratan dalam konteks Pilkada, menjadikan Dayeuh Garut dalam wacana di ruang publik politik. Menyediakan ruang kontemplasi logois dengan ide, gagasan, narasi akan keutamaan untuk keadaban dayeuh, ditengah tarikan pragmatisme politik yang kencang nan banal ini.

Semisal “Polis en Logois” dari filsuf Platon, saat mengenang Idea Kebaikan di Polis Yunani arkaik buhun, seiring menguatnya Demokrasi Oligarki dengan 30 tirannya yang menyisakan kelaraan zamannya.

Bagaimana model pelembagaan Politik Permusyawaratan sebagai diskursus ruang publik politik Garut, dalam penguatan Demokrasi Delebratif lokal? Akan coba digaritkan sessi berikutnya.. Semoga.

Tabe Pun, Cag Rampe. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan