Nyawalan di Tahun Pilkada

Budayawan Kabupaten Garut Asep Maher

Gurat-Garit-Garutan (1)

Oleh: Asep Maher, Budayawan Kabupaten Garut

Bacaan Lainnya
banner 300600

SAMPURASUN. Saya ingin berpisah dengan bulan Syawwal dengan satu kenangan ini, “Nyawalan di tahun Pilkada”.

Bukankah hari boleh pergi, namun kenangan darinya bisa abadi dan Kembali ? dan kenangan manis itu serupa makna dan harapan, dengan nama lain. Dia bisa menginspirasi, lalu menuntun tindakan untuk memeliharanya. Akan kenangan pahit sebaiknya kita maafkan saja, biar cepat lepas mengantui.

Lalu apa makna itu, dan bagaimana menjaga harapannya? Kiranya perlu segera disimpulkan di sini, bahwa Nyawalan sebentuk laku Keagamaan yang menjadi peristiwa Kebudayaan keseharian nan ningrat, luhur. Tidakkah itu indah? Iya dongs ! maksa.

Jika menetap pada kata-kata dasar dari kabar langitan yang membentuk sikap Nyawalan kita, itu akan mengena pada hal yang dasariah serta umumiyah, universal.

Hingga, situasi keterbakaran yang siksa melumpuhkan daya (Romadon), jika ditirakati sebagai terapi (Shoum), akan mungkin mengembalikan pada kejatian diri yang sempat tertindih oleh kejuntian, tibalah mengenakan kembali baju kebaruan daya-daya jiwa akan merasa, mengindra, menalar dan melaku (Idul Fitri). Inilah saat diangkat untuk melampaui situasi yang menjerat derita (Syawwal).

Sampai di sini, jadi mengerti adat kita, saat akan memasuki bulan romadhon sebagai pengkondisian niatan dan ingatan, yaitu berjiarah dahulu pada “makom kematian” (Nadran) untuk bersiap diangkat makomat dan derajat (Munggah).

Pada ihwal ini, teringat ucap Kenabian, “Semua Manusia dalam tidur kelupaan, ketika mengalami kematian mereka tersadar” (Annaasu niyaamun, faidzaa maatuu intabahuu). Hanya dengan kesaksian dan keberanian menghayati kelaraan, keterbangunan jiwa itu menjadi mungkin diharapkan. Tanpa semua itu, hanyalah kesangsian dan boleh diragukan.

Maka, Nyawalan bisa difahami sebagai sikap aktif untuk menjaga dan memelihara kenaikan makom terulas setelah ibadah Shoum. Oleh karenanya saat tiba di masa Syawwal, kita melanjutkan Puasa untuk beberapa hari, tetap menyambung tali kasih, mempererat solidaritas, menghangatkan masyarakat akrab, lebih peduli pada yang papa, juga giat cinta pengetahuan dan kebijaksanaan.

Semua itu terlaksana pada tingkat sosial kita. Sebuah peristiwa Kebudayaan-Kebangsaan-Kerakyatan sedang tergelar kembali.

Dan, yang ter-makna dan ter-harap dari sikap Nyawalan itu adalah kepedulian dan kemampuan melahirkan kembali Pemimpin yang berhikmah Kerakyatan dan Kebijaksanaan Kemanusiaan. Pemimpin sedemikian sesungguhnya perwujudan jiwa sosial kita yang besar. Dia telah lama ghoib dari pandangan karena terhijab satu kekuatan yang nyata-nyata lagi perkasa. Pada harapan besar inilah tepatnya, kita terpautkan pada momentum Pemilihan Bupati Garut 2024.

Sampai di konteks ini, yang sosial kultural akan memasuki yang politik struktural. “Yang etik” berjumpa “yang sistemik”. Dua bentuk dan peristiwa kebudayaan dengan para aktor dan partisipannya yang tampak semakin berbeda, namun telah dan akan melukis rupa kisah kehidupan kita.

Lalu, bagaimana yang Hikmah dan Bijaksana itu mungkin untuk mengharapkannya dan pula mengihtiarkannya, sebagai kenangan Nyawalan kita, sebut saja dalam partisipasi aktif politik Pilkada Garut ?

Untuk maksud ini, di Gurat Garutan berikunya saya akan coba Garitkan. Semoga padaku ada keyeng, juga padamu jangan puyeng.

Tabe Pun, Cag, Rampes.
30 Syawal 1445 H

Pos terkait

Tinggalkan Balasan