Oleh: Harik Ash Shiddieqy Amrullah, S.H., M.H (Ketua Umum Pimpinan Daerah Jawa Barat Koalisi Masyarakat Madani)
PERUSAHAAN Umum Daerah (Perumda) seharusnya menjadi simbol dari kehadiran negara dalam memastikan keadilan ekonomi, pelayanan publik yang layak, serta kesejahteraan rakyat. Namun, di tengah semangat reformasi tata kelola dan profesionalisme, muncul kekhawatiran serius terhadap proses seleksi direksi Perumda Tirta Intan Kabupaten Garut.
Indikasi penyimpangan dalam proses seleksi tersebut menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas dan kepatuhan terhadap regulasi. Panitia seleksi (Pansel), yang semestinya menjalankan fungsi administratif dan teknis semata, justru disinyalir mengambil alih ruang keputusan yang merupakan hak prerogatif Kepala Daerah dan Kuasa Pemilik Modal (KPM).
Regulasi yang mengatur proses seleksi direksi BUMD sudah sangat jelas. PP No. 54 Tahun 2017 dan Permendagri No. 37 Tahun 2018 secara eksplisit menyebut bahwa Pansel bertugas melakukan penjaringan, uji kelayakan dan kepatutan (UKK), hingga menyampaikan hasil seleksi kepada Kepala Daerah.
Namun fakta di lapangan menunjukkan dugaan kuat adanya upaya intervensi oleh oknum Pansel sejak awal proses seleksi. Penggiringan nama calon tertentu sebelum proses sampai ke tangan Kepala Daerah berpotensi melanggar prinsip netralitas dan membuka celah konflik kepentingan.
Apalagi, pengangkatan Direktur Utama adalah wewenang eksklusif KPM (dalam hal ini Kepala Daerah), sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (5) PP No. 54 Tahun 2017. Jika kewenangan ini dikesampingkan, maka seluruh proses seleksi terancam tidak sah secara moral maupun administratif.
Perumda dibentuk untuk menjawab kebutuhan publik, bukan sebagai panggung bagi agenda kelompok tertentu. Ketika proses seleksi direksi dikendalikan oleh pihak yang tidak berwenang, maka yang terjadi bukan sekadar pelanggaran prosedur, melainkan bentuk nyata penyalahgunaan kekuasaan dalam ruang demokrasi ekonomi.
Apakah kita akan membiarkan Perumda menjadi alat transaksi kekuasaan lokal? Apakah kita rela masa depan pelayanan air bersih dikooptasi oleh segelintir elite yang menyingkirkan prinsip transparansi?
Seleksi direksi bukan sekadar pemenuhan administratif, melainkan gerbang awal menuju tata kelola Perumda yang bersih, profesional, dan akuntabel. Kekuatan Perumda sebagai motor pembangunan daerah akan lumpuh jika aktor-aktor pentingnya terpilih melalui proses yang cacat.
Masyarakat berhak tahu dan bersuara. Para pemangku kepentingan wajib menjaga proses seleksi agar berjalan dalam koridor hukum dan kepentingan publik. Kita semua bertanggung jawab mencegah institusi strategis seperti Perumda jatuh dalam pusaran oligarki lokal.
Hari ini, suara rakyat tidak boleh bungkam. Demokrasi ekonomi adalah hak kita bersama. Jika proses seleksi direksi disinyalir dikendalikan oleh pihak-pihak berkepentingan, maka itu adalah bentuk kemunduran yang harus dilawan secara terbuka dan tegas.
Kita mendesak keterlibatan aparat pengawas internal, lembaga pengawasan independen, serta keterbukaan penuh kepada publik. Seleksi yang adil dan sesuai aturan bukan hanya syarat administratif—melainkan fondasi bagi keberlanjutan dan kepercayaan terhadap Perumda sebagai aset milik rakyat. (*)