Kebudayaan Sebagai “Leuweung Larangan”

Budayawan Kabupaten Garut Asep Maher atau yang lebih dikenal dengan Ki Maher saat mengambil air di Mata Air Cinangewer Gunung Putri Garut.

Gurat-Garit-Garutan #4

Oleh: Ki Maher, Budayawan Kabupaten Garut

Bacaan Lainnya
banner 300600

KEBUDAYAAN itu sebuah cara dan jalan hidup bersama yang mengalir dari suatu sumber nilai, seperti mata air di hulu yang mengalir ke hilir, oleh karenanya wilayah hulu ini harus dijaga”, demikian kata Pak PJ Bupati Garut dalam satu kesempatan silaturahmi dengan baresan Dewan Kebudayan Kabupaten Garut (DKKG).

Sebuah tamsil Kebudayaan yang make sense, mengena pada rasa dan memantik penjabaran pikiran. Maka saya hendak mensyarah lebih jauh “Sumber dan aliran air Kebudayaan” tersebut, dalam duduk perkaranya sebagai isu strategis pada momentum Pilkada 2024, di tengah rundungan kedaruratan-kedaruratan Garut yang kita saksikan saat ini.

Budaya ; Mata Air Tatanan Keadaban

Jika Kebudayaan sebuah kata benda, itu berarti ihwal keadaan yang berbudaya sebagai hasil dari aktivitas budaya. Yakni sebuah situasi dan kondisi yang tercipta dari Daya Budhi yang lembut lagi bening, semisal zat dan sifat air saat keluar dari mata airnya. Itulah kerja kehalusan rasa dan kejernihan pikiran.

Daya Budhi ini sifat Manusiawi. Sebentuk fitrah kemanusiaan yang asali nan hanif, oleh karenanya ishlah adanya sebelum mengalami kefasadan atau ketercemaran dalam perkebangannya. Sebagaimana juga air dari hulu mungkin terjamah rusak kawasannya atau tercemar keruh dalam liku perjalannya ke hilir.

Alhasil ihwal keadaan dari kerja Daya Budhi itu ialah serupa kebiasaan baik-etik lagi epik-estetik pada ekpresi personalnya, juga keajegan keadilan-kemakmuran pada pranata sosialnya. Yang budaya sebagai potensialitas kini menyata pada aktualitasnya dalam cara dan laku hidup personal juga sosial.

Daya optima rasa dan pikir sebagai sumber air kehidupan, darinya mengalirkan sejarah kemanusiaan hingga tiba di puncak keadabannya, yakni tercipta tatanan bahagia dan sejahtera bersama. Kita mengistilahkannya “Tata Tengtrem Kerta Raharja”. Kehalusan rasanya telah menghamparkan tanah subur yang melandasi, kejernihan pikirnya membentangkan langit pengetahuan yang memayungi. Di atas tanah dan di bawah langit seperti itulah Kebudayaan menjadi tatanan Keadaban.

Kebudayaan sebagai tatanan Keadaban itu bukan saja sesuatu yang lampau, melainkan juga esksis pada kekiniaan kita. Tidak pula hanya bersarang pada awan imajinatif, tetapi bermukim dalam praksis pengalaman keseharian. Hari ini Kebudayaan ditempatkan pada kemasasilaman kita, semacam bekas jejak dan serpihan kenangan akan masa lalu yang mengharukan.

Kebudayaan jadi cagar Tradisi dengan ragam ekspresi seninya yang semakin tampak eksotik dalam tatapan Modernitas. Kebudayaan itu Tradisi dan Modernitas itu tatanan kekinian, sebagaimana ini dipatenkan dalam UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Tapi apakah Modernitas yang menglobal itu tatanan Keadaban yang membahagiakan dan mensejahterakan bersama ? pada kenyataannya tatanan Modernitas telah melahirkan kedaruratan yang masif sistemik hari ini.

Letargi Budaya ; Air Mata Kedaruratan

Kini mata air yang bening sedang berubah menjadi air mata yang ketir, itulah suasana kedaruratan. Sebuah keriskanan dengan resiko tinggi yang senantiasa mengintai mengancam. Keserempakan yang tercipta pada lingkungan alam rusak, politik defisit etik, demokrasi surut kerakyatan, birokrasi KKN sistemik, kerengangan sosial akut dan kerentanan ekonomi kronis, telah menggelarkan situasi kedaruratan-kedaruratan yang mencemaskan. Kedaruratan ini tanda dari kelesuan Daya Budhi yang merebak. Sebuah letargi budaya sedang menggejala..

Pada situasi kedaruratan kini, ingatan akan yang Budaya dan Kebudayaannya menjadi wajar secara psikologis. Ibarat kenangan masa muda yang semerbak bunga, kerap tercium di masa tua yang mulai terasa renta. Kedaruratan yang melarakan ini akan memantik sikap romantik untuk kembali pada kenangan indah masa lalu. Itulah tarikan Daya Budhi Manusiawi.

Pilkada ; Resolusi Kebudayaan Garut Inten

Pada ungkapan “Garut Tinggal Urut” terselip rasa nineung akan keelokan Garut masa lalu, yakni Garut Inten. Keintenan itu keindahan dan kekayaan alamiah dengan tatanan Keadabannya. sebuah Garut yang eksis pada masa lalunya, yang kekiniannya tertimbun oleh kedaruratan-kedaruratan sehingga melahirkan situasi Garut Tinggal Urut.

Keintenen Garut yang kini tinggal Tradisi dengan rupa ekpresi sikap seninya perlulah dipertahankan dalam kungkungan Modernitas yang semakin meringkus. Formasi sosial Modernitas sebagai ruang hidup, menjadikan yang Tradisional-lokal tersudut sebagai Kebudayaan ditengah cengkraman sistem Politik liberal-nasional dan Ekonomi kapitalistik-global. Dunia keseharian, Lebenswelt, kini dalam pengaruh dominasi dunia System politik dan ekonomi.

Pada gegap Pilkada Garut dimana harapan akan Kepemimpinan Garut di tiap level ; Eksekutif, Legislatif dan Kultural bisa membawa perbaikan sedang menyeruak serempak, maka jadi momentum strategis untuk mendesakan “Sense of Important”, rasa memiliki arti penting pada Kebudayaan Tradisional ini. Bagaimana Kebudayaan dapat diusung jadi isu strategis dalam pembangunan Garut di masa depan.

Kembali pada pengertian Kebudayaan pak PJ di awal, Tradisi sebagai ruang Kebudayaan yang masih menjaga Daya Budhi sebagai sumber mata air kehidupan haruslah diperbaiki, dipelihara dan dijaga kawasannya sebagai pertahanan terakhir Kebudayaan, dan modal dasar untuk kembai kepada tatanan Garut Inten.

Seperti halnya sumber-sumber mata air di hutan Konservasi yang harus terjaga dan terlarang dijamah, maka semisal itu pula Kebudayaan sebagai “Leuweung Larangan” yang musti dipulihkan bersama keberadaanya dan haram digadabah kembali. Lalu, pada peristiwa politik Pilkada Garut 2024 ini, kita boleh mengajukannya sebagai Resolusi Kebudayaan Garut Inten

Semoga, Cag Rampes..!!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan