Gurat-Garit-Garutan #6
Oleh: Asep Maher, Budayawan Kabupaten Garut
Tanda, dan dunia kehidupan
SEBUAH peristiwa adalah penomena yang menandai jiwa zamannya, Zeitgeist. Sejak awal november, isu beras dalam Pilkada menggejala di beberapa kabupaten yang diberitakan medsos, menandakan jiwa dan alam demokrasi kita. Penomena terbaru dan mutaakhir ini memantik keharuan rasa dan refleksi budaya. Ada apa dengan demokrasi kita?. Garitan kali ini hendak mencatatkan dan “ngabejer-beaskeun” jiwa zaman yang disimbolkannya itu.
“Le symbole donne a panser”.demikian dalam istilah seni memahami ala filsafat kontinental Prancis ini. Sebuah simbol atau tanda akan memantik pemikiran. Pokok gagasan dari gaya hermenutika ini bahwa sebuah simbol, tanda atau istilah teknisnya “teks”, tidak sedang berbicara pada dirinya untuk diketahui, melainkan menyimpan suasana kehidupan untuk dipahami. Dengan demikian teks sedang tertuju dan mengabarkan sebuah makna hidup kepada kita, sehingga selalu mengajak pada permenungan.
Apa makna dan suasana hidup bagi kita pada setangkai mawar merah yang sedang merekah, rintik hujan senja di november, senyuman gadis di taman, tatapan mata rakyat di jalan, demagogi politisi saat kampanye, ataupun cerita pantun Mundinglaya Dikusumah, Lutung Kasarung, kisah Adam Kaisinan yang terbuka auratnya dan terusir dari surga, juga mitos Dewi Kesuburan Nyi Pohaci ?
Semisal hal di atas adalah aliran peristiwa dan penomena yang datang membawakan pesan untuk direnungkan maknanya demi menjalani kehidupan kini. Yang segera ingin dikatakan di sini adalah tentang keberadaan beras sebagai tanda dari situasi dan konstalasi zamannya ketika dia dihadirkan dan diperankan.
Nyi Pohaci, dan Jiwa Zaman
Pada wawasan kosmologi tradisional kita punya mitologi dewi kesuburan dan kemakmuran. Ialah Dewi Sri dalam kebudayaan Nusantara, dan pada masyarakat Sunda dikenal dengan Sri Pohaci. Pesona Sri Pohaci ini masih dijaga dan dirawat khusunya oleh masyarakat Kanekes-Baduy hingga saat ini.
Padi menjadi simbol utama Nyi Pohaci. Pada setangkai pohon padi terlukiskan keelokan dan kasih sang dewi bagi kehidupan. Keelokannya merupa kesuburan tanah dan air yang menumbuhkan ragam tanaman. Dengan kasihnya memberi kemakmuran pangan. Sebuah “hirup nu hurip” jelas tergambarkan di sini. Maka sikap terhadap Nyi Pohaci ini penuh rasa hidmat syukur dengan puja-puji dan perlakuan mupusti.
Sikap syukur melahirkan etik hidup, puja-puji jadi ragam upacara sakral, lalu mupusti jadi perilakun mengolah padi, mulai dari menanam, menumbuh, memanen, menumbuk dan mengkonsumsi hasilnya berupa beras. Tergelarlah budaya pertanian masyarakat tradisional yang memuliakan tanaman dan menumbuhkan manfaat maslahat.
Dalam asuhan mitis Dewi Sri dengan gelaran budaya taninya, padi dan beras pada situasi demikian jadi tanda jiwa zamannya, yaitu Zaman Sri. Sebuah zaman berkeutamaan yang bermaratabat dengan kedaulatan dan kemakmuran. Sampai hari ini, masyarakat kampung Kanekes memiliki kedaulatan, kemakmuran dan ketahanan dalam pangan. Ciri kemartabatannya padi dan beras terlarang jadi barang yang bisa dipertukarkan, hajat hidup orang banyak ini dijaga dari privatisasi dan akumulasi sesorang. Alhasil ketaahanan pangan terjaga, hingga simpanan aset halayak ini aman tersedia bahkan untuk berpuluh tahun ke depan.
Syahdan, dalam tebaran pesona Nyi Pohaci, beras adalah tanda rasa syukur, kedaulatan, kemakmuran serta perlindungan dignity kemanusiaan dan kerakyatan..
Kuasa Beras, dan Paradoks Demokrasi, Banalitas Politik
Telah berlangsung lama pangan pokok beras, seperti juga air, telah jadi komoditas di pasar bebas. Jelas ada privatisasi dan akumulasi dari hajat hidup orang banyak ini. Ekspor-impor, harga tukar, deflasi-inflasi nilai juga kelangkaan adalah konsekuensi dari mekanisme pasar itu. Lalu, jiwa zaman macam apa hari ini, saat beras telah jadi instrumen untuk sebuah kuasa dalam cara politik Pilkada ?
Nampak paradoks demokrasi yang ekstrim di sini, dan banalitas politik yang keras. Entahlah, klaim jalan demokrasi yang lama dianut dengan cara politik demokratisnya semestinya menghasilkan ketahanan pangan, sandang dan papan rakyat. Bukan sebaliknya, kedaruratan dan kerentanan akan people basic need tadi.
Dan kuasa beras sebagai cara politik oleh elit, akan memanfaatkan kenyataan masif kerentanan pada rakyat, yaitu pangan, diluar sandang dan papan. Bahkan panganpun tinggal satu dari yang sembilan bahan pokok untuk hidup sehat, yaitu beras, yang hanya cukup untuk bertahan hidup dari ancaman kematiannya. Sebuah situasi kerentanan paling rentan pada rakyat berusaha dikonversi menjadi dukungan dan deret hitung suara.
Sementara cara politik demokratis mensaratkan nutrisi-nutrisi harapan dan gagasan untuk rasa dan pikiran kerakyatan yang disajikan oleh para politisi. Hingga terkoneksi, terpahami, tersepakati arah dan jalan (visi dan misi) perbaikan kehidupan bersama. Sungguh seunggah menerima paradoks demokrasi ini, seiring begitu masif kerentanan kondisi, hingga begitu profan status beras, juga betapa dangkal politik. Tak tersisa lagi kedalaman dari “the politics” yang sarat makna dan etik itu.
Kuasa beras hari ini, apapun sangkaan yang mungkin berlebihan, akan paradoksal demokrasi dan banalitas politik, tetapi satu yang pasti terdengar di sini ; Menggema lonceng purna pudarnya pesona Nyi Pohaci. Pada gema tersebut, beras jadi suara kematian jiwa zaman kita. Zaman Lara maju ka Pati. Dan kita semua diam-diam sedang mengafirmasinya.
Modernitas Akhir, dan Akhir Kegaiban Dunia
Dari mana semua ini bermula dan berasal usul? Dalam tilikan kebudayaan, inilah kesudahan cerita lara yang tergelar dari modernitas sejak dilahirkannya “Zaman Pencerahan” abad 18 di Eropa. Api cerah logos yang menghuru mitis mitos lalu menyambar seantero jagat bersamaan agenda kolonialisme.
Pencerahan dengan projek desakralisasi, sekularisasi dan profanisasi telah melucuiti yang gaib, relijius dan mitis. Tak ada pesona dewa-dewi yang menjangkar makna, mereka bukanlah fakta-fakta empirik. Alhasil dari pencerahan seperti yang disimpul oleh Max Weber sebagai, “Pudarnya Kegaiban Dunia” akan segala hal ihwal ; Alam, Agama, Politik, juga Padi dan Beras.
Tiba di abad 21, api pencerahan dalam kebudayaan modernitas lanjut ini telah menuntaskan kematian pesona kegaiban itu. Maka mentashrif kalimat dari Nietzsche sang pengabar kematian, “Zaman telah mati, dan kitalah para pembunuhnya..!!”
Lalu apa sesudah kematian yang gaib? inilah jalan lain “the politics” dalam kematian zaman. Hidup tetap abadi, dan akan terlahir kembali ke Zaman Sri. Dan akhir cerita ini adalah wayah “Ayak-Ayak Beas”. Cag, rampes. (*)