Konflik Rusia – Ukraina: Sebrutal apapun Perang sejatinya ada Hukumnya

  • Whatsapp

Oleh : Sandi Prisma Putra, S.H., M.H., CLA., CPL., CPCLE., ACIArb.

HUKUM, KABARNUSANTARA.ID – Presiden Rusia Vladimir Putin pada Rabu 23 Februari 2022 mendeklarasikan perang dengan Ukraina. Melalui pidato khusus yang disiarkan stasiun TV pemerintah Rusia, Putin mengeklaim Rusia sedang melakukan operasi militer khusus untuk mendemiliterisasi Ukraina. Invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai pada Kamis, 24 Februari 2022 dinilai sebagai penyerangan terbesar sebuah Negara kepada Negara eropa lain sejak perang dunia 2. Bahkan menurut para pengamat hubungan internasional konflik besar tersebut dikuatirkan berpotensi untuk bereskalasi menjadi world war 3 atau perang dunia ke 3 yang akan berimbas pada banyak negara.

Bacaan Lainnya

Pemerintah Indonesia melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menilai, aksi Rusia meningkatkan eskalasi konflik senjata dan membahayakan keselamatan masyarakat dan berdampak bagi keamanan kawasan. Indonesia mendesak agar negara-negara terkait menghormati aturan hukum yang berlaku.

Menyambung penyataan resmi Pemertintah Indonesia tersebut. Dalam tulisan ini penulis tertarik untuk membahas secara singkat dan sederhana terkait hukum perang.

Istilah hukum perang (laws of war) juga dikenal dengan istilah hukum humaniter (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict). Hukum humaniter merupakan istilah modern dari hukum perang, dimana disebut sebagai hukum humaniter untuk menghindari trauma korban terhadap kekejaman perang. Terlepas dari istilah yang digunakan, Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang tetapi karena alasan kemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi wilayah dimana terjadi perang. Dalam perang korban jiwa merupakan hal yang lazim dalam pertempuran. Tujuan utama hukum humaniter adalah memberi perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita akibat menjadi korban perang, baik yang secara aktif turut dalam pertempuran (kombat), maupun mereka yang terkena dampak tetapi bukan pihak yang turut serta dalam peperangan (civilian population).

Hukum Humaniter mengandung asas-asas pokok yaitu asas kepentingan militer (military necessity), asas perikemanusiaan (humanity) dan asas ksatria (chivalry). Asas kepentingan militer dijabarkan dengan adanya penerapan dua prinsip utama: Prinsip pembatasan (limitation principle) dan prinsip proporsionalitas (proportionality principle). Prinsip pembatasan, adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang berperang, sedangkan prinsip proporsionalitas ialah yang menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek sipil harus proporsional sifatnya. Asas perikemanusiaan adalah keharusan pihak yang beperang untuk memperhatikan rasa perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka berlebih atau penderitaan yang tidak perlu. Terakhir asas ksatria mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

Hukum humaniter mewakili keseimbangan yang ada di dunia dan menjaga stabilitas dunia oleh karenanya Hukum humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum internasional. Berbagai konvensi dan perjanjian internasional yang mengatur tentang hukum humaniter dapat diklasifikasikan dalam Hukum Den Haag (The Hague Laws) dan Hukum Jenewa (The Geneva Laws). Kedua Hukum ini dinamai sesuai lokasi diadakannya konferensi internasional yang merancang perjanjian-perjanjian mengenai perang dan konflik, yaitu Konvensi Den Haag 1899, 1907 dan Konvensi Jenewa, yang pertama kalinya didesain pada tahun 1863.

Hukum Den Haag
Hukum Den Haag yang pada masa lalu disebut sebagai Hukum Perang yang utama (the law of war proper) merupakan rule of game yang menetapkan hak dan kewajiban pihak yang berperang menyangkut pelaksanaan operasi serta mengatur alat dan cara dalam berperang (means and method of warfare). Hukum Den Haag merupakan suatu upaya sistematis untuk membatasi kebiadaban perang yang dapat diketemukan dalam Konvensi-Konvensi Den Haag. Konvensi-konvensi Den Haag adalah serangkaian ketentuan yang dihasilkan dari Dua Perundingan Internasional yaituThe First Hague Peace Conference (Konferensi Perdamaian I) yang diadakan mulai tanggal 20 Mei 1899 hingga 29 Juli 1899; dan ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari The Second Hague Peace Conference (Konferensi Perdamaian II) tahun 1907.

Hukum Jenewa
Hukum Jenewa terinspirasi langsung oleh prinsip kemanusiaan pasca Perang Dunia 2. Hukum ini berkenaan dengan orang-orang yang tidak ikut serta dalam konflik (civilian population) maupun personel militer yang hors de combat (kombatan yang menyerah dan tidak mempunyai daya atau kemampuan lagi untuk memberikan perlawanan kepada musuhnya). Hukum tersebut juga menjadi raison d’etre bagi kegiatan perlindungan dan bantuan kemanusiaan yang dilaksanakan oleh organisasi kemanusiaan yang tidak memihak seperti ICRC (International Committee of the Red Cross) / Komite Palang Merah Internasional. Hukum Perang yang Fokus pada perlindungan dan bantuan kemanusiaan ini dapat diketemukan dalam Konvensi-konvensi Jenewa. Konvensi-konvensi Jenewa merupakan hasil dari sebuah babak yang mengembang melewati sejumlah tahap dalam kurun waktu tahun 1864-1949, Konvensi-konvensi Jenewa meliputi empat perjanjian (treaties) dan tiga protokol tambahan yang menetapkan standar dalam hukum internasional.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan dalam Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa dapat dikategorikan sebagai War Crimes (Kejahatan Perang). War Crimes (Kejahatan Perang) merupakan Gross Violation of Human Right (Pelanggaran HAM Berat) dan salah satu dari International Four Core Crimes bersama-sama dengan The crime of genocide (genosida); Crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan); dan The crimes of aggresion (kejahatan agresi). Keempat bentuk kejahatan tersebut merupakan bentuk-bentuk international crimes dalam pengertian stricto sensu yaitu kejahatan-kejahatan yang menjadi yurisdiksi material dari ICC (International Criminal Court) / Mahkamah Pidana International berdasarkan Pasal 5 (1) Statuta Roma, oleh karenannya pelaku kejahatan perang atau lazim disebut sebagai penjahat perang dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag Belanda.

Pembaca yang budiman, Konflik dan perang telah menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah peradaban manusia. Dalam peperangan, aspek kemanusiaan baik dari pihak kombatan maupun masyarakat sipil seringkali tidak terlalu diprioritaskan. Dalam banyak peperangan, justru warga sipil tak bersenjata yang kehilangan hak asasinya dan terancam keberlangsungan hidupnya. Melalui tulisan ini dengan segala keterbatasan Ilmu dan pengetahuan Penulis terkandung harapan semoga semua pihak yang terlibat dalam perang yang sedang terjadi dapat menjaga dan melestarikan apa maknanya menjadi manusia, bahkan sebrutal apa pun perang sejatinya masih ada hukum yang mengaturnya meski pada kenyataannya di lapangan hukum itu kadang tidak dipatuhi. Prioritas tertinggi adalah mencegah eskalasi lebih lanjut dan korban sipil, pengungsian, serta penghancuran infrastruktur sipil. Sejarah perang selalu menimbulkan dampak kerugian dan kesengsaraan yang luar biasa bagi semua pihak sebagaimana peribahasa mengatakan menang jadi arang kalah jadi abu. We win together and we lose together. *

Pos terkait