Oleh : Indra Kurniawan*
KABARNUSANTARA.ID – DI Amerika Serikat kriteria patronase politik didefinisikan sebagai pendistribusian kekuasaan birokrasi oleh pejabat terpilih kepada pendukungnya berupa pemanfaatan sumberdaya untuk menggerakan mesin politik di sebuah yuridiksi, baik walikota, gubernur dan presiden. Pemanfaatan yang diberikan oleh sang patron kepada para loyalis-loyalis terpilih dengan hak istimewa disesuaikan dengan kompentensi dibarengi dengan pengawasan ketat, sehingga patronase bersifat demokratis dan fungsional terhadap arah kebijakan publik bagi sang Patron.
Di Indonesia patronase politik sangat jelas dilaksanakan tidak demokratis apalagi fungsional. Hal ini dapat dilihat ketika pendistribusian hak istimewa terhadap para loyalis diberikan dalam bentuk lapangan pekerjaan, hak-hak jabatan dalam korporasi Negara. Hak istimewa ini diberikan kepada sebagian kecil orang tanpa ada pengawasan yang ketat sehingga patronase politik terkait kebijakan publik di Indonesia berbentuk oligarki.
Kesalahan menjalankan patronase di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya sistem kepartaian yang minus kompentensi, dan ketidaksiapan rakyat dalam hal kemampuan memilih pejabat publik yang didasari oleh kompentensi. Keadaan ini menjadikan proses timbal balik antara calon pejabat publik dan masyarakat kebanyakan bersifat fragmatis transaksional. Konsekwensi logisnya adalah rakyat dan calon pejabat kebanyakan berada pada posisi saling suap untuk meraih suara mayoritas. Kondisi ini di Indonesia masih bersifat masif sehingga cost politik menjadi amat besar sehingga orientasi pejabat publik ketika sudah menjabat adalah Return on Investment. Pengembalian modal yang terjadi adalah mengganti uang pribadi melalui cukong-cukong bisnis yang dilakukan secara illegal, serta pengembalian modal kepada pemodal berupa hak istimewa melalui transaksi pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tanpa mengindahkan ha-hak warga negara untuk mendapatkan kondisi keadilan sosial.
Di Indonesia kelemahan mendasar dalam konsep politik adalah tidak terjadinya building political parties development di mana partai politik dibentuk oleh sebagian kecil pemodal yang bertujuan untuk mempertahankan eksistensi bisnisnya. Sistem kepartaian yang oligarki menyebabkan keadaan negara yang oligarki juga. Jeffery A. Winter dalam teorinya mengatakan bahwa kebijakan ekonomi merupakan sasaran utama yang dikejar oleh aktor-aktor oligarki pada setiap tingkatan kekuasaan baik desentarlistis dan sentralistis.
Winters memberikan sebuah konsep pertahanan kekayaan (wealth defense) dengan dua komponen utama yaitu pertahanan pendapatan dan pertahanan harta melalui cara-cara mempengaruhi kebijakan pemerintah atas dasar balas jasa serta kepastian mendapatkan hak istimewa. Partai politik dalam keadaan seperti ini sudah tidak bisa lagi membendung person-person yang keluar masuk partainya. Berpindah-pindah partai bukan karena visi misi partai melainkan melihat kesempatan di mana partai yang akan memegang kekuasaan ke depan berdasarkan pengamatan elektabilitas pada sebuah proses election.
Gambaran menurunnya kualitas patronase politik di indonesia dapat dilihat ketika para calon legislatif dari partai koalisi pemerintahan aktif justru mendukung capres dan cawapres dari partai oposisi, dan begitupun sebaliknya dalam sebuah proses pemilihan presiden di Indonesia saat ini. Kerumitan sistem politik di Indonesia saat ini juga ditambah dengan spectrum public yang terlalu banyak polarisasi. Pemerintah justru terjebak dalam wilayah private refresif public official di mana kebijakan publik diciptakan ke wilayah-wilayah private rakyatnya sehingga penajaman publik tidak mengarah kepada kualitas keadilan sosial yang dirasakan, melainkan masuk ke wilayah Private Interperation di mana kondisi minoritas dan mayoritas dalam budaya, etnis dan agama menjadi salah satu indikator dalam memilih.
Kerumitan menjalankan patronase politik yang demokratis dan fungsional menyebabkan akar masalah di daerah dan pusat menjadi sama dimana pemilih mendasarkan pilihannya atas kebencian dan motif diskriminasi sehingga kondisi ini memungkinkan banyaknya pemilih yang telah kehilangan objektivitas. Titik kulminasi dalam kegagalan ssstem politik di indonesia adalah mengakarnya cara-cara oligarki yang justru dilanggengkan oleh beberapa kebijakan publik.
Tulisan ini masih bersifat universal dalam menilai keadaan patronase politik di indonesia. Perlu beberapa parameter penunjang agar hipotesis bisa lebih kontras, sehingga tulisan ini ditujukan kepada kita semua yang masih semangat untuk melakukan perubahan-perubahan tentang cara-cara bernegara dalam pendekatan sistem politik yang handal.
Politik tidak hanya dimaknai tentang cara mendapatkan kekuasaan tetapi culture set-nya perlahan dirubah menjadi memberikan kemanfaatan (Utility) oleh kekuasaan terhadap kebanyakan orang (Utilitariansm Principle), baik dalam cara mendapatkan jabatan, proses legislasi, pelaksanaan undang-undang serta penegakan terhadap undang-undang itu sendiri.
Dengan pendekatan ini, pada akhirnya konsep pembagian kekuasaan tidak hanya ada dalam buku-buku kampus melainkan dapat aplikatif untuk mementingkan hak-hak warga negara sebagai pemberi kedaulatan dalam social contract di mana seluruh kesejahteraan dan keadilan dikembalikan lagi kepada rakyat, bukan kepada sebagian kecil orang.
*Penulis adalah pengamat politik, hukum dan ketatanegaraan