JAKARTA, KABARNUSANTARA.ID – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan seluruhnya gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan Partai Prima sebagai Penggugat terhadap Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) yang Salah satu amar putusannya adalah memerintahkan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum ( Pemilu ) dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Ini artinya Pemilu ditunda hingga Juli 2025. Sehingga mengundang banyak polemik di masyarakat.
Sandi Prisma Putra Praktisi Hukum yang juga Dosen Hukum acara di Sekolah Tinggi Hukum Garut ditemui Tim KabarNusantara.id di Kantornya sangat menyayangkan putusan tersebut. Bahkan ia juga berpendapat bahwa putusan tersebut melampaui kewenangan dari Pengadilan Negeri (PN) dalam mengadili Perkara.
Sandi beralasan bahwa pertama sebagiamana diketahui, pemilu merupakan pesta demokrasi dimana dalam hal ini masyarakat sebagai pemilih meyalurkan aspirasi melaui hak pilih dan partai politik berkontestasi untuk dipilih termasuk kadernya. Hak memilih dan dipilih (right to vote and to be candidate) dalam pemilu merupakan bentuk konkret dari Political Right (Hak Politik) yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak konstitusional warga negara.
“Dari penjabaran tersebut jelas bahwa pemilu berkaitan erat dengan kepentingan publik, bahkan secara sederhana jelas dari nomenklaturnya saja pemilu itu akronim dari dua kata yaitu Pemilihan dan Umum. Selain daripada itu terkait kualifikasi gugatan perbuatan melawan hukum dalam perakara tersebut dari sisi subjek dan objek yang berperkara KPU ditarik menjadi subjek tergugat yang notabene merupakan Lembaga Negara yang menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) dan objeknya pun merupakan perbuatan berupa kelalaian dalam melakukan verifikasi yang apabila hasil verifikasi tersebut dituangkan dalam suatu keputusan maka keputusan tersebut harus dianggap sebagai Beschiking (Keputusan Tata Usaha Negara),” papar Sandi Sabtu (04/03/2023) sore.
Tak hanya itu Sandi juga berpendapat keliru apabila gugatan tersebut dikualifikasikan sebagai onrechtmatige daad atau perbuatan melawan hukum sebagaimana pasal 1365 KUH Perdata tetapi lebih tepatnya dikualifikasikan sebagai onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah/penyelenggara negara.
Apabila demikian maka yang memiliki kewenangan secara absolut untuk mengadili seharusnya adalah Pengadilan Tata Usaha Negara telah di atur juga di Mahkamah Agung dalam Perma No.2 Tahun 2019 Tentang Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintah.
“Kedua terkait amar putusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU untuk menunda Pemilu telah melanggar asas dalam Hukum Acara Perdata bahwa Putusan Hakim dalam perkara perdata pada asasnya harus bersifat Inter partes dalam arti hanya mengikat dan berakibat hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa yaitu Penggugat dan Tergugat tidak boleh berakibat terhadap Pihak-pihak lain yang tidak bersengketa,” jelas Sandi.
Lebih jauh Sandi juga berpendapat bahwa amar putusan PN Jakpus tersebut justru bersifat erga omnes dalam arti mengikat dan berakibat secara luas terhadap pihak-pihak lain diluar Penggugat dan tergugat, mengingat pemilu berkaitan erat dengan suatu kepentingan publik yang melibatkan banyak pihak lain,baik sebagai pemilih atau kontestan seperti partai-partai partai politik lainnya.
“Hal ini jelas bahwa putusan tersebut telah keliru dan melanggar asas hukum acara perdata,” Pungkas Sandi.