Pemilu 2019, Lembaga Survei Versus Fenomenologi Kualitatif

  • Whatsapp

Oleh : Indra Kurniawan*

KABARNUSANTARA.ID – PKPU No 10 Tahun 2018 sebagai aturan pelaksana Pasal 450 Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berisi tentang ketentuan teknis bagaimana kedudukan lembaga survei menjadi salah satu partisipasi masyarakat dalam kegiatan Pemilu di Indonesia. Lembaga survei dalam aktivitasnya diwajibkan untuk mengedepankan ketidakberpihakan, menjaga kondusivitas masyarakat serta standing point penting lainnya adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam keterlibatan sebuah election process.

Bacaan Lainnya

Dalam perspektif Hukum Tata Negara, lembaga survei jelas memiliki kepentingan yang urgent pada kondisi saat ini apabila melihat fakta empiris terhadap reaksi masyarakat Indonesia, di mana lembaga-lembaga survei nasional dalam 1 tahun terakhir tersentralisir terhadap survei-survei yang mempengaruhi elektabilitas para paslon khusus di wilayah Pilpres. Kondisi ini menyebabkan partisipasi masyarakat secara otomatis tertuju hanya kepada Pilpres saja dan dengan serta merta keadaan masyarakat di Indonesia mengalami declining community participation in legislative politics atau menurunnya partisipasi publik dalam memilih calon legislatifnya.

Fakta lain dalam Pemilu 2019 untuk legislatif juga mengalami degradasi dalam hal kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap calon-calon legislatif, baik untuk pusat atau pun daerah. Hal ini menyebabkan filtrasi publik dalam memilih wakil rakyat menjadi terabaikan. Jumlah partisipasi penggunaan hak pilih yang meningkat tidak dibarengi dengan meningkatnya kualitas pilihan masyarakat khusus di legislatif.

Indra Kurniawan

Keadaan ini dari satu sisi menguntungkan para calon yang hanya menggunakan faktor popularitas yang tentunya menjadi alternatif rakyat di tengah banyaknya pilihan. Tetapi tidak menemukan kualitas dan kompetensi yang baik disebabkan kegagalan mekanisme penyelenggaran Pemilu yang terlalu menitikberatkan rakyat untuk melihat, menganalisa hanya pada ruang Pilpres semata.

Eksistensi lembaga survei saat ini sangat dominan dalam mempengaruhi opini publik, karena hampir setiap saat integrasi lembaga survei dan media menjadi stimulus bagi publik dalam menentukan sikap politik, baik sikap untuk menajamkan dukungan terhadap para paslon, bahkan juga bagi publik menentukan sikap perlawanan terhadap paslon lainnya dengan polarisasi yang begitu kompleks.

Baca juga:

Hilangnya Patronase Politik di Indonesia

Bukan lagi rahasia bahwa publik melatarbelakangi pilihannya berdasarkan ideologi praktis, religius praktis dan penguatan sentimen terkait etnisitas.

Kondisi ini mengakibatkan tujuan lembaga survei sebagaimana diatur dalam PKPU No 10 tahun 2018 khusus di Pasal 28, jelas tidak tercapai, dan bahkan mengalami kontra kondisi terhadap semangat kondusivitas yang semestinya dibangun oleh lembaga survei. Kia tahu, kehadiran lembaga survei pada prinsipnya adalah harus menunjang terwujudnya suasana kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

Stagnasi lembaga survei dalam Pemilu 2019, dalam analisa penulis yang melakukan komparasi perundang-undangan dalam standing point lembaga survei terhadap opini publik, jelas tidak linear. Hasil-hasil survei terutama di sisi analisa Pilpres justru menimbulkan keresahan sebagian masyarakat, dugaan-dugaan keberpihakan dan sumber dana yang digunakan pada saat melakukan survei berasal dari kubu tertentu pun menjadi isu. Kebenaran terkait hal ini memang masih debatable, namun reaksi sebagian rakyat justru tercermin dalam survei yang dilakukan bahwa sekitar 20% (Survei Median) masyarakat mengalami untrust/tidak percaya terhadap keberadaan lembaga survei, 19% percaya dan sisanya menyatakan tidak tahu.

Opini publik saat ini di Indonesia hampir seluruhnya berpijak kepada hasil quick count yang dilakukan oleh lembaga survei. Ini akan menjadi tantangan besar bagi keberadaan quick count, terutama apabila real count yang dirilis KPU berbeda jauh dan melebihi margin error yang sudah ditetapkan oleh lembaga survei sebelumnya.

Baca juga :

Perda Ketenagakerjaan Harus Jadi Prioritas Pemkab Garut Tahun 2019

Secara yuridis normatif lembaga survei bukan sebagai legitimate body (badan yang sah) dalam menentukan sebuah hasil pemilihan umum. Namun pergeseran opini masyarakat saat ini justru menempatkan lembaga survei sebagai salah satu referensi kuat untuk dijadikan acuan utama dalam menentukan siapa pemenang pemilu dalam sebuah kontestasi politik, bahkan Presiden Jokowi dalam hasil Pemilu kemarin menyampaikan presisi Lembaga Survei adalah 99% dapat dipercaya.

Tentu hal ini menjadi dualisme bagi pihak kontestan lain, terutama di kubu Prabowo yang menyatakan bahwa hasil survei lembaga saat ini adalah keliru. Jejaring sosial hampir didominasi oleh spektrum lembaga survei, baik kubu yang percaya dan kubu yang tidak percaya berdasarkan keunggulan dan ketertinggalan pada masing-masing paslon. Kondisi ini secara psikologis menempatkan asumsi negatif bagi sekian banyak warga negara, bahkan memiliki potensi perlawanan dengan menggunakan massa. Di sisi lain banyak juga warga negara yang merasa puas terhadap hasil survei sementara. Kondisi ini adalah variable-variable yang justru secara substantif menimbulkan dua reaksi berbeda dan tentunya berhadap-hadapan sehingga variable kondusivitas sebagaimana perintah undang-undang dan aturan derivasi lainnya, baik secara sosiologis maupun psikologis, tidak tercapai di kalangan masyarakat.

Berbahaya ketika pendidikan politik masyarakat saat ini mengalami pergeseran nilai dari yang awalnya melihat konsep substanstif dalam cara dan tujuan bernegara, menjadi konsep skeptisme terhadap cara-cara proses politik saat ini. Seyogyanya politik bukan hanya didasari dengan cara merebut kekuasaan saja tetapi juga didasari tanggung jawab sehingga pemerataan keadilan tercapai. Salah satunya memastikan pendidikan politik oleh kebijakan publik menyentuh akar rumput sehingga rakyat bisa memiliki objektivitas dalam memilih pemimpinnya.

Oleh karena itu, perlu dikaji ulang posisi lembaga survei nasional terhadap kedudukan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Eksistensi lembaga-lembaga survei pun harus dilakukan revalidasi menyeluruh baik sisi filosopisnya, sosiologisnya dan bahkan yuridisnya, agar pelaksanaan survei elektabilitas memang sejalan dengan tujuan utamanya yaitu sebagai partisipasi masyarakat yang mengedepankan independensi, professional dan tentunya menjaga kondusivitas masyarakat secara menyeluruh.

Kausalitas lembaga survei pada Pilpres 2019 memang menjadi barometer utama bagi rakyat Indonesia terkait suhu politik pascapencoblosan 17 April 2019 lalu, bahkan sebagian publik menjadi skeptis terhadap integritas KPU dan seluruh fakta ini disebabkan karena cetak biru lembaga survei belum menemukan tempat yang layak dalam perundang-undangan secara materil di Indonesia. Dapat dimungkinkan ketika legislatif ke depan dan para ahli hukum tata negara membuat kajian sistematis bahwa lembaga survei harus diatur khusus dan bahkan jika perlu diatur melalui sebuah Undang-undang untuk mengatur seluruh mekanisme survei.

Penulis mengajak seluruh lapisan warga negara untuk bisa menanggapi secara proporsional hasil Pemilu 2019 terutama sosio reaksioner dalam upaya kritis terhadap jalannya pemilu yang dalam pengamatan penulis mengalami kondisi Fatigue (kelelahan kapasitas). Tentunya selalu ada kekecewaan dalam kontestasi dan kekecewaan bisa dalam bentuk apa pun, akan tetapi transformasi kekecewaan harus selalu dijiwai oleh rasa persatuan dan menempatkan seluruh konflik kepada Due process of law yang dalam prosesnya kita kawal bersama.

Jiwa Pancasila tidak boleh berhenti hanya sebagai ideologi teoritis saja melainkan harus dianggap sebagai ilmu pengetahuan dalam tataran praktis. Dengan begitu, maka penyelarasan Pancasila tidak diintegrasikan vertikal saja melainkan teraplikasi secara horizontal agar seluruh interaksi sosial yang berpotensi konflik diselesaikan secara kesadaran nasional yang pancasilais oleh masyarakat sendiri. Dengan demikian, negara tidak perlu hadir melalui upaya refresif.

Semoga tulisan ini memberikan sedikit perspektif baru dalam meredam gejolak sosial pasca-Pemilu 17 April 2019, dan tentunya penulis mengajak seluruh pihak untuk menahan diri dan menerima hasil yang paling adil dalam kawalan kedaulatan rakyat bersandarkan terhadap keterbukaan dan kepastian hukum.

Penulis, pengamat politik, hukum dan tata negara

Pos terkait