TASIKMALAYA, KABARNUSANTARA.ID – Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Nurhayati Effendy meminta segenap pemangku kepentingan di Kota Tasikmalaya untuk terus bekerja keras menurunkan angka prevalensi stunting. Alasannya, prevalensi stunting di Kota Tasikmalaya tak kunjung turun. Sebaliknya, jumlah kasus stunting cenderung naik.
“Berapa sih angka atau prevalensi stunting Indonesia secara keseluruhan? Angkanya hanya turun 0,1%, yaitu 21,5% (SSGI 2023). Ini jauh dari target pemerintah yaitu 17% pada 2023, “ ungkap Nurhayati saat menjadi narasumber Promosi dan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) Progam Percepatan Penurunan Stunting di Kelurahan Parakan Nyasag, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, Selasa (28/5/ 2024).
“Kalau di Kota Tasikmalaya berapa prevalensi stunting-nya, naik atau turun? Saya sangat prihatin, ternyata prevalensi stunting di Kota Tasikmalaya ini tidak turun, malah naik 4,7 persen, yaitu dari 22,4 persen pada 2022 menjadi 27,1 persen pada 2023,” tambahnya.
Nurhayati menilai perlu penyikapan serius terhadap hasil survei. Para pihak harus melakukan telaah dan evaluasi, apakah intervensi yang dilakukan sudah tepat atau belum. Termasuk di dalamnya upaya optimalisasi 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) bagi anak.
Dia menegaskan, stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Ini ditandai dengan panjang atau tinggi badannya di bawah standar. Kondisi ini sejatinya bisa dicegah selama periode 1000 HPK, yaitu dimulai sejak terbentuknya janin pada saat kehamilan (280 hari) sampai dengan anak berusia dua tahun (720 hari).
Lebih jauh Nurhayati menjelaskan, ada beberapa kemungkinan yang dianggap sebagai pemicu kasus stunting baru. Pertama, banyak bayi yang baru lahir dengan berat badan rendah. Ada juga ibunya yang memiliki penyakit penyertanya. Misalnya penyakit pada kehamilan apakah dia menderita diabetes ataupun menderita penyakit lainnya, sehingga berpotensi menyebabkan berat badan bayi lahir rendah.
Penyebab lain di antaranya, sebagian besar dari remaja putri atau calon pengantin. Saat dilakukan pemeriksaan HB-nya, kebanyakan dari mereka menderita defisiensi.
“Kalau jumlah stunting di Kelurahan Parakan Nyasag ini ada berapa? Data dari Dinkes per 28 Mei 2024 ada 119 anak stunting dari data entry 716 balita, sehingga prevalensinya 16,62 persen. Nah ini ada perbedaan data yang saya dapat dari BKKBN per 13 Mei 2024 ada 163 anak stunting dari 1208 anak yang ditimbang dan diukur, dari total keseluruhan 1277 anak, dengan prevalensi 13,49 persen,” ungkapnya.
“Kemudian saya dapat data dari Pak Lurah Parakannyasag ini ada 111 anak, dengan 14,8 persen prevalensi stunting, jadi beda-beda semua. Jadi, datanya kenapa berbeda-beda seperti ini? Apa indikator pengukurannya beda? Data itu seharusnya terintegrasi. Perlu dikedepankan adalah kita menyamakan persepsi akan data karena data akan terus update (seharusnya), namun yang terpenting yang perlu kita perhatikan adalah sinergisitas antarlembaga dalam penurunan angka stunting bahwa negara hadir di tengah-tengah masyarakat,” tambahnya. (*)