GARUT, KABARNUSANTARA.ID – Tahun 2022 ini, DPRD Garut mulai menggodok Peraturan Daerah (Perda) Pondok Pesantren yang jadi turunan dari Undang-Undamg Nomor 18 tahun 2019 tentang Pondok Pesantren.
Pertemuan dengan stake holder dari Ormas Islam dan Pondok Pesantren pun telah digelar oleh DPRD Garut untuk mendengar aspirasi stake holder.
Wakil Sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Garut melihat, ada dua hal strategis yang harus masuk dalam Perda Pondok Pesantren kelak. Yang pertama adalah, bagaimana negara mau mengakui proses pendidikan yang ada di pondok pesantren.
“Semangat besarnya adalah bagaimana negara mengakui proses kependidikan di pondok pesantren,” jelas Hilman.
Hilman melihat, selama ini para santri belajar dari kyai di pondok pesantrn hingga belasan tahun, namun ilmu yang mereka terima tidak diakui oleh negara karena tak punya ijazah. Setelah ada Perda ini, negara harus mengakui pendidikan seorang santri di pondok pesantren.
“Artinya negara mengakui pendidikan dia (santri) di pesantren,” jelas Hilman.
Dengan pengakuan ini, menurut Hilman nantinya santri yang telah menempuh pendidikan di pondok pesantren, bisa memiliki hak yang sama dengan mereka yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan formal hingga bisa mendaftar CPNS hingga menjadi bupati.
Yang kedua, selain soal pengakuan negara pada proses kependidikan di pondok pesantren menurut Hilman adalah soal sanad ilmu yang dimiliki seorang ustad atau kyai. Hal ini agar tidak ada lagi ustad-ustad bodong yang sanad ilmu dan tempat belajarnya tidak jelas.
“Kyai itu harus memiliki jejak pesantren, dia mondok dimana, sanad ilmunya kemana, itu penting, harus ditelusuri, kalau sanadnya terputus, itu salah,” tegasnya.
Hilman menyampaikan, sanad keilmuan penting karena belajar agama, tidak bisa hanya disandarkan pada kemampuan menelaah orang per orang dan mengajarkan agama berdasarkan pemahaman sendiri. Namun, harus ada cantolan ilmu hingga ke Baginda Rasulullah SAW.
“Misalnya saya belajar kitab syafinah, darimana belajarnya, dari kyai A, kyai belajar dari kyai B, terus sampai pada pengarang kitabnya, pengarang kitabnya ke gurunya hingga sampai ke Baginda Rasul,” jelasnya.
Selain kedua hal tersebut, seperti misalnya soal kewajiban pemerintah memfasilitasi fasilitas pondok pesantren, menurut Hilman itu adalah hal kecil.
“Mindsetnya adalah negara hadir untuk memberikan bantuan, bukan itu semangatnya, itu yang paling bawah, tapi semangat besarnya adalah negara mengakui pendidikan di pesantren,” tegas Hilman yang juga salahsatu pengasuh Pondok Pesantren Fauzan.
Juju Hartati, dari komisi IV DPRD Garut mengakui, DPRD Garut tahun ini mulai melakukan pembahasan Perda Pondok Pesantren yang akan jadi Perda inisiatif DPRD Garut.
“Ini inisiatif DPRD yang akan dilaksanakan di tahun 2022 ini,” tegas Juju.
Juju mengakui, salahsatu hal yang akan diangkat dalam Perda pondok pesantren sendiri diantaranya adalah soal pengakuan pendidikan di pondok pesantren.
“Intinya ingin keabsahan, diakui negara bahwa pondok pesantren bisa mengeluarkan ijazah setara dengan pendidikan formal,” katanya.
Juju melihat, Perda pondok pesantren sendiri, di tingkat provinsi Jawa Barat telah menjadi Perda. Karenanya, Perda pondok pesantren di Garut, tinggal mengakomodir hal-hal yang bersifat karakteristik lokal.
“Perda provinsi audah, kita tinggal mengikuti saja dengan penambahan karakteristik lokal, itu yang harus kita muat,” katanya.
Juju melihat, pondok pesantren di Garut adalah lembaga pendidikan besar. Karena, dari data yang didapatnya dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Garut, di Garut ada sekitar 1800 pondok pesanten. Namun, 500 diantaranya belum memiliki ijin.
“Pondok pesantren adalah aset besar untuk menjaga nilai-nilai moral, itu harus jadi perhatian kita,” katanya. (*)