Banjir Garut Diprediksi Jadi Siklus Enam Tahun, Pemkab Tak Punya Solusi

  • Whatsapp

GARUT, KABARNUSANTARA.ID – Banjir bandang yang menimpa kawasan perkotaan di Garut, diprediksi bisa jadi siklus yang terjadi enam tahun sekali.

Hal tersebut, bisa terjadi karena pasca banjir bandang Sungai Cimanuk 2016, Pemkab Garut, sama sekali tidak punya program mitigasi bencana yang jelas.

Bacaan Lainnya

“Pemda tidak serius menangani banjir, buktinya banjir ini terulang lagi, tepat enam tahun setelah banjir bandang Cimanuk, kita khawatir ini jadi siklus enam tahun sekali,” jelas Usep Ebit Mulyana, aktivis lingkungan yang juga Dewan Penasehat Institute For Ecological Studies (Infest) dalam diskusi bertajuk “Mitigasi Banjir di Garut” yang digelar Kelompok Kajian Masyarakat Peduli Bencana di Kedai Kopi Kopituin.

Menurut Ebit, jika melihat pada kalender hijriyah, banjir bandang Sungai Cimanuk September 2016, jatuh pada bulan Muharram kalender hijriyah, banjir saat ini, juga tepat jatuh di bulan Muharram kalender hijriyah, artinya banjir kali ini, terjadi tepat enam tahun setelah banjir bandang 2016.

“Sejak banjir 2016, tidak ada program rehabilitasi lingkungan yang jelas yang bisa jadi mitigasi bencana, pemerintah tidak punya solusi,” kata Ebit.

Ebit melihat, ada perbedaan yang jelas Antara banjir tahun 2016 dan kali ini, jika tahun 2016 banjir terjadi karena luapan dari semua Sub DAS Cimanuk. Banjir saat ini, ada dua sub DAS Cimanuk yaitu Sungai Ciwalen dan Cipeujeuh yang meluap cukup tinggi.

“Dua sungai ini, bantaran sungainya kawasan padat penduduk karena melintas tepat di kawasan perkotaan, makanya banyak warga yang terdampak, sungai-sungai lain juga meluap, tapi tidak terlalu besar dan bantaran sungainya bukan kawasan padat penduduk,” katanya.

Meski ada perbedaan karakter banjir, Ebit masih melihat ada persamaan dalam banjir tahun ini yaitu sungai-sungai yang meluap besar, kawasan hulunya sama berada di kawasan Gunung Cikuray. Hal ini, menjadi pertanda kuat bahwa di kawasan Gunung Cikuray yang statusnya hutan lindung, ada kerusakan hutan yang besar.

“Ini tanda ada kerusakan di Gunung Cikuray, makanya dari dulu kita minta agar status Cikuray bukan lagi hutan lindung, tapi hutan konservasi atau jadi taman nasional,” katanya.

Sementara, koordinator Kelompok Kajian Masyarakat Peduli Bencana, Yudi Indratno melihat, selain masalah tata kelola kawasan yang jadi hulu sungai Ciwalen dan Cipeujeuh, banjir kali ini juga menunjukan adanya masalah dalam tata kelola kawasan kota yang harusnya diatur dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

“RDTR bisa mengatur agar pembangunan di kawasan kota, juga berwawasan lingkungan,” katanya.

Salah satu bukti dari pembangunan fasilitas umum diperkotaan yang tidak berwawasan lingkungan, menurut Yudi adalah pembangunan Alun-Alun Garut yang belum lama diresmikan.
Alun-Alun yang dulunya lapangan dengan paving block yang bisa menyerap air, saat ini semua bagian alun-alun dibeton.

“Perencana pembangunan alun-alun tidak salah, karena tidak ada RDTR yang mengatur, tapi sekarang dampaknya kan terasa, air semua masuk ke saluran air, tidak terserap ke tanah,” katanya.

RDTR menurut Yudi bisa mengatur soal kawasan terbuka hijau di perkotaan dan juga kawasan resapan air. Dengan begitu, tingkat air mengalir (run off) saat terjadi hujan, relatif bisa berkurang karena sebagian terserap ke dalam tanah. Menurunnya run off, memberi dampak besar karena bisa mengurangi debit air di saluran air.

“Sekarang kan semua masuk saluran air karena tidak ada daerah resapan, sementara kondisi saluran air juga tidak ada perbaikan dan penuh sampah, jelas air meluap dan jadi banjir,” katanya.

RDTR sendiri, menurut Yudi adalah produk hukum yang jadi turunan dari Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah dimiliki Kabupaten Garut.
Harusnya, setelah ada Perda RTRW yang mengatur tata ruang wilayah Kabupaten Garut. Sementara, RDTR menjadi turunan dari RTRW yang mengatur tentang tata ruang di tingkat kecamatan.

“Padahal, tiap tahun ada kegiatan pembahasan RDTR, tapi tidak sampai jadi kebijakan,” katanya.

Yudi melihat, ada dua langkah besar yang bisa diambil pemerintah daerah dalam upaya mitigasi bencana banjir di kawasan perkotaan, yang pertama adalah mengembalikan fungsi kawasan yang jadi hulu sungai yang melintasi kawasan perkotaan dan yang kedua adalah melakukan penataan kawasan kota secara terencana lewat RDTR.

Asep Hermawan, aktivis sosial Kabupaten Garut melihat, banjir bandang Sungai Cimanuk dan banjir kali ini, harusnya cukup jadi peringatan bagi pemerintah tentang kondisi lingkungan di Garut yang telah mengalami degradasi yang cukup jauh, terutama kondisi hutan dan gunung.

“Bencana sebesar apa lagi yang bisa menyadarkan pemerintah, harusnya mereka sadar dan kemudian mengambil langkah-langkah strategis merehabilitasi lingkungan sebagai bagian dari mitigasi bencana banjir,” katanya.(*)

Pos terkait