Enam Desa di Garut Jadi Pilot Project Balai Sakinah Aisyiyah

GARUT, KABARNUSANTARA.ID – Enam desa dari empat kecamatan di Garut yaitu Desa Cibunar Kecamatan Cibatu, Desa Sindangsari dan Desa Margacinta Kecamatan Leuwigoong, Desa Sindangratu dan Desa Sukamenak Kecamatan Wanaraja dan Desa Mekarbakti Kecamatan Cilawu, jadi pilot project program Balai Sakinah Aisyiyah yang akan jadi program Aisyiyah di seluruh Indonesia.

Balai Sakinah Aisyiyah sendiri, menjadi output dari program Inklusi Aisyiyah yang akan dilaksanakan Pimpinan Pusat Aisyiyah bersama Pimpinan Daerah Aisyiyah Kabupaten Garut yang pelaksanaannya dimulai Rabu (23/09/2022) dengan menggarap lima focus isu sesuai dengan program pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan SDGS.

Bacaan Lainnya
banner 300600

Rosyidah, koordinator asisten dan monev program Inklusi Aisyiyah mengungkapkan, lima isu yang jadi garapan program Inklusi Aisyiyah sendiri yaitu penurunan stunting, perkawinan anak, pemberdayaan ekonomi, kepemimpinan perempuan hingga Hak Kesehatan Seksual Remaja (HKSR).

“Lima isu yang jadi program ini, hasil assessment dan menyesuaikan program pemerintah yang ada dalam RPJMN dan SDGS,” kata Rosyidah usai mengikuti kick off program Inklusi Aisyiyah di Aula Bappeda Kabupaten Garut Rabu (21/09/2022) yang dihadiri berbagai dinas dan lembaga terkait.

Menurut Rosyidah, program inklusi yang akan dijalankan, akan terintegrasi dengan program-program pemerintah dalam isu yang sama dengan cara berbagi peran.

Selain itu, ada juga model sendiri yang dibangun seperti Balai Sakinah Aisyiyah (BSA) yang jadi output dari kegiatan ini yang akan dibentuk di tiap-tiap desa.

Lewat program ini, menurut Rosyidah pihaknya berupaya melakukan perubahan prilaku masyarakat lewat tahapan-tahapan program yang telah disusun yang semuanya akan dilakukan di BSA. Untuk pengentasan stunting misalnya, BSA memiliki program rumah gizi yang bisa diakses oleh keluarga yang anaknya stunting.

“BSA ini akan tetap jalan meski program inklusi selesai, BSA akan jadi program Aisyiyah,” katanya.

Ditempat yang sama, Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah Kabupaten Garut Yati Rosyati Damiri mengungkapkan, Aisyiyah Kabupaten Garut sendiri, memiliki program Desa Qoryah Toyyibah yang menjadi gambaran desa ideal, program ini menurut Yati diwujudkan dalam program BSA yang saat ini mulai dipraktekan di enam desa di empat kecamatan di Garut.

“Oktober nanti aka nada pelatihan kader di enam desa, masing-masing desa ada lima kader yang dilatih, nanti mereka mendirikan Balai Sakinah Aisyiyah, semua isu program akan coba diselesaikan di BSA,” katanya.

Suryana, manajer program inklusi Aisyiyah di Garut menambahkan, setelah BSA terbentuk di enam desa yang jadi percontohan, maka para kader mulai melakukan identifikasi penerima manfaat dari program-program yang disiapkan dalam BSA seperti pengentasan stunting, pemberdayaan ekonomi, perkawinan anak, kepemimpinan perempuan hingga Hak Kesehatan Seksual Remaja (HKSR).

“Nanti diidentifikasi kebutuhan tiap penerima manfaat, jadi nanti kader bisa mengadvokasi dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat yang jadi dampingannya,” katanya.

Salah satu permasalahan yang sempat muncul dalam kick off program Inklusi Aisyiyah sendiri, disampaikan oleh Sekretaris Pengadilan Agama Kabupaten Garut, Indra Ari Setiawan terkait tingginya angka perceraian di Kabupaten Garut belakangan ini.

Menurut Indra, tiap bulannya, Pengadilan Agama Kabupaten Garut memutus 600 perkara gugatan perceraian dengan penggugat kebanyakan adalah dari perempuan. Kasus tertinggi, menurut Indra terjadi setelah hari raya Idul Fitri dimana kasus gugatan cerai yang masuk hingga 900 perkara.

“Alasan yang disampaikan banyak, kebanyakan ekonomi, perselingkuhan dan ketidakcocokan,” katanya.

Selain soal tingginya angka perceraian, Indra juga menyampaikan soal tingginya permohonan dispensasi nikah yang merupakan permohonan nikah sebelum usia yang ditetapkan dalam UU nomor 16 tahun 2019.

“Kan UU nomor 1 tahun 1974 di revisi oleh UU nomor 16 tahun 2019, kalau dulu usia laki-laki 18 tahun, perempuan 16 tahun (syarat menikah), dengan revisi UU ini, semuanya 19 tahun, laki-laki dan perempuannya, itu yang membuaat permohonan dispensasi nikah dari Januari sampai September ini total 453 permohonan,” katanya.

Indra mengakui, pernikahan dini bisa juga menjadi penyebab tingginya angka perceraian, karena tidak sedikit pasangan yang mengajukan perceraian usia perkawinannya masih dibawah 10 tahun. Setidaknya, hal ini terlihat dari usia pasangan yang mengajukan perceraian yang rata-rata berusia masih muda. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan