Hindari Konflik Tanah, SPP Desak Pemkab Garut Bentuk Tim Penyelesaian Sengketa Agraria

  • Whatsapp
Serikat Petani Pasundan (SPP) melakukan rapat dengar pendapat di Komisi II DPRD Garut terkait pembentukan tim penyelesaian sengketa agrarian akhir pekan lalu.

GARUT, KABARNUSANTARA.ID – Serikat Petani Pasundan (SPP), mendesak Pemerintah Kabupaten Garut segera membentuk Tim Penyelesaian Sengketa Agraria Kabupaten Garut untuk menghindari konflik-konflik tanah antara Masyarakat dengan pemerintah. Karena, Garut memiliki potensi tinggi munculnya konflik pertanahan

Agustiana, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Pasundan mengungkapkan, Garut di era kepemimpinan Rudy-Helmi, banyak melakukan Pembangunan, terutama infrastruktur strategis yang cukup berhasil. Namun, pemerintah daerah lupa akan persoalan utama dalam meningkatkan kesejahteraan Masyarakat adalah akses pemanfaatan dan penguasaan lahan.

Bacaan Lainnya

“Persoalan utamanya adalah akses pemanfaatan dan penguasaan tanah negara, akses pemanfaatan dan penguasaannya harus dibuka oleh pemerintah daerah,” kata Agustiana usai dengar pendapat di Komisi II DPRD Garut terkait pembentukan tim penyelesaian sengketa agrarian akhir pekan lalu.

Menurut Agus, selama ini Garut dikenal sebagai daerah pertanian dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian dari hasil pertanian yang sangat bergantung pada tanah sebagai alat produksi.

Namun, saat ini tanah-tanah negara produktif, malah dikuasai oleh badan usaha.

“Ini pengalaman kami 30 tahun memperjuangkan rakyat di berbagai desa yang berhasil menguasai tanah negara seperti di Badega, Sagara dan Selekta, terbukti bisa meningkatkan kesejahteraan Masyarakat sampai 300 persen, lebih tinggi dari Masyarakat lain,” tegas Agus.

Saat ini, menurut Agus, 60 persen lahan negara produktif yang bersifat konversi atau yang boleh dimanfaatkan, penguasaannya diklaim oleh Perusahaan perkebunan dan Perhutani. Padahal, saat ini hampir semua HGU perkebunan sudah habis ijinnya dan banyak Perusahaan perkebunan sudah tak mampu lagi mengelola perkebunan.

“Tanah negara yang bisa dikonversi lainnya, dikuasai Perhutani dan sekarang di sengketakan antara KLHK dengan Perhutani di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” katanya.

Agus mengakui, Kementerian ATR/BPN lewat Perpres nomor 86 tahun 2018, sudah membuat tim penanganan sengketa tanah yang disebut gugus tugas. Namun, keberadaan Lembaga ini sama sekali tidak efektif karena struktur dan kewenanangannya di daerah terbatas.

“Ketua dan anggota gugus tugas ini, tidak berani memeriksa atau mempertanyakan legalitas klaim lahan negara oleh perkebunan atau Perhutani, karena memang tidak diberi kewenangan,” katanya.

Meski tidak punya kewenangan, menurut Agustiana ironisnya lagi, pejabat setingkat Asda I yang lalu, tanpa adanya keterangan dari desa dan instansi lainnya, menyetujui klaim sepihak dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa barat terkait tanah negara di Dusun Cimerak Desa Sagara Kecamatan Cibalong yang sudah puluhan tahun ditempati warga sebanyak 200 kepala keluarga.

Menurut Agus, klaim atas tanah negara yang dilakukan Lembaga negara seperti BBKSDA dan Perhutani jika dicermati secara yuridis, tidak memiliki dasar hukum yang tepat. Karena, sejatinya hak Kelola mereka hanya pada tanaman yang ada di lahan tersebut, bukan penguasaan atas lahan.

“Makanya, di beberapa daearah seperti di Desa Sagara, Karyamukti, Maroko, Simpang dan Toblong di Kecamatan Cibalong yang telah menempati lahan selama puluhan tahun dan kemudian di klaim Perhutani lalu kita sengketakan, Masyarakat menang hingga bisa dibuatkan sertifikat hak milik,” katanya.

Agus mengingatkan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2011 menegaskan kawasan hutan yang dikuasai sebagai kawasan tanah wilayah Kelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lewat penunjukan Menteri KLHK, bisa dianggap tidak sah karena harus dikukuhkan juga dengan peta luasan yang jelas dan dilengkapi berita acara tata batas oleh Masyarakat yang memiliki tanah di lingkungan tersebut.
Tim penyelesaian sengketa agrarian sendiri, menurut Agus saat ini sudah ada di Kabupaten Ciamis dengan dipayungi hukum Peraturan Bupati. Selain di Ciamis, di Tasikmalaya, Pemerintah Daerah membuat Perda yang mengatur tentang Tim Penyelesaian Sengketa Agraria.

“Tugasnya menerima pengaduan dari Masyarakat tentang sengketa tanah, mencatat, menginventarisir dan memeriksa ijin kesesuaian keberadaan fisik Lembaga yang menguasai, mengelola dan mengklaim tanah negara dalam bentuk perkebunan atau Lembaga pemerintah apapun atau perusahaan swasta,” katanya.

Ketua Komisi II DPRD Garut, Aris Munandar mengakui, sampai saat ini memang belum ada Lembaga khusus di Pemkab Garut yang bertugas menangani penyelesaian sengketa tanah, terutama antara Masyarakat dengan Perusahaan dan Lembaga pemerintah. Karenanya, Aris melihat masukan dari SPP untuk membentuk tim ini sangat bagus.

“Kita akan pelajari dulu, kita akan lihat ke Ciamis, bagaimana pengaplikasiannya, ke Tasik lihat bagaimana Perdanya, kita akan tindaklanjuti ini,” katanya. (*)

Pos terkait