HONGKONG|KABARNUSANTARA.ID – Setelah sebelumnya menangguhkan pembahasan di parlemen, Otoritas Hong Kong akhirnya resmi menarik Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang memicu gelombang aksi demonstrasi selama 13 minggu terakhir di kota semi-otonom tersebut.
RUU tersebut menjadi kontroversial karena memungkinkan ekstradisi pelaku pelanggaran ke China daratan. Hal mana menangguk kecaman dari rakyat Hong Kong, dan memicu krisis politik karena aksi demonstrasi yang berkepanjangan.
“Untuk menghilangkan kekhawatiran publik, kami (pemerintah –red) resmi mencabut sepenuhnya RUU Ekstradisi,” kata Carrie Lam, Pemimpin Eksekutif Hong Kong. Pernyataan tersebut disampaikan Carrie Lam melalui video yang dirilis kantornya, Rabu (4/9/2019), dikutip dari AFP. Pengumuman tersebut, dilakukan Lam di hadapan para anggota parlemen pro-Beijing.
RUU Ekstradisi ini telah membawa Hong Kong ke dalam krisis politik terburuk sejak penyerahannya dari Inggris tahun 1997 lalu, karena memicu gelombang aksi demonstrasi selama 13 pekan terakhir. Pencabutan RUU ini adalah salah satu dari lima tuntutan utama para demonstran. Diharapkan dengan adanya pencabutan ini, gelombang protes berakhir dan krisis politik terbesar yang mengguncang Hong Kong tersebut, segera usai.
Meski begitu, kenyataan tak selalu sesuai dengan harapan. Langkah otoritas mencabut RUU tersebut, ternyata tidak lantas menurunkan tensi ketegangan. Gerakan pro-demokrasi memanfaatkan momentum tersebut untuk menuntut reformasi dan ruang demokrasi yang lebih luas di Hong Kong.
Lam menyebut, pencabutan RUU tersebut akan dikonfirmasi saat parlemen kembali dibuka Oktober mendatang. Ia berencana untuk membuka ruang dialog dengan oposisi dan demonstran, yang disebutnya sebagai “wahana untuk menyuarakan keluhan dan berbagi pandangan”, seperti dilansir AFP.
Ia berencana membentuk sebuah tim independen yang terdiri dari para akademisi, penasihat, dan para profesional untuk memberikan saran dan solusi, guna memeriksa dan meninjau masalah-masalah yang ada di masyarakat.
“Demonstrasi yang sedang berlangsung dan menentang pemerintah China, telah menempatkan Hong Kong dalam posisi yang rentan dan berbahaya. Prioritas utama kami sekarang adalah untuk mengakhiri kekerasan, menjaga supremasi hukum dan memulihkan ketertiban dan keselamatan di masyarakat,” ujarnya.
Mengutip pernyataan Carrie Lam dalam rekaman suara pada sebuah pertemuan tertutup, laporan Reuters sebelumnya menyebut pemimpin Hong Kong berusia 62 tahun ini akan mundur dari jabatannya jika memang sudah tidak tersedia lagi pilihan baginya.
Namun Lam menanggapi laporan tersebut dengan menyatakan bahwa dirinya tidak pernah mengajukan pengunduran diri dan pemerintah Beijing yakin pemerintahannya akan dapat menyelesaikan krisis politik yang telah berlangsung selama tiga bulan tanpa campur tangan China daratan. “Saya tidak pernah mengajukan pengunduran diri,” kata Lam dalam konferensi pers yang disiarkan televisi.
“Saya bahkan belum memikirkan untuk membahas pengunduran diri dengan pemerintah pusat. Pilihan pengunduran diri itu pilihan saya sendiri,” tambahnya.
“Saya mengatakan kepada diri saya berulang kali dalam tiga bulan terakhir ini, bahwa saya dan tim saya harus tetap membantu Hong Kong.”
“Itu sebabnya saya mengatakan bahwa saya belum memberi pilihan pada diri saya untuk mengambil jalan yang lebih mudah, yaitu untuk pergi,” ujar Lam. Pengunduran diri Lam termasuk dalam salah satu tuntutan yang diajukan para pengunjuk rasa dan belum terpenuhi hingga saat ini. (*)
Reporter : IGR
Redaktur : Ilmi G