Wabah dalam Peradaban Islam (3): Wabah Amwas, Perdebatan Kalam dan Benih Daulah Umayyah

  • Whatsapp

ISLAMI, KABARNUSNATARA.ID – “Ngapain mau nutup diri di rumah, kalau tiba mati ya mati.” “Korona adalah tentara Allah yang dikirim kepada orang-orang kafir.” Ucapan-ucapan ini terdengar begitu sumbang akhir-akhir ini. Namun bagi kita yang menganut paham Asy’ariyah, yang membutuhkan tangan Tuhan atas segala perkara, pemahaman dari pengucapan-ucapan tersebut terdengar lebih akrab.

Tapi apakah hanya di zaman kita muncul sebagai persetujuan? Apakah hanya seorang pengguna lokal yang berpikir tentang ini? Terakumulasi perspektif keagamaan yang membentang jauh di dalam penyataan yang sangat sederhana itu. Bahkan di masa awal Islam, di masa awal orang-orang mengenal wabah pandemi, di masa depan mengucapkan-ucapan itu terlontar.

Bacaan Lainnya

Tak ada fantasi yang lahir tanpa kontroversi dan peristiwa. Dan begitulah dimulai. Berawal dari masa kekhalifahan Umar bin Khattab setelah wabah memulai langkah ekspansinya, melanjutkan ke pembahasan tentang takdir, meluas ke segala macam diskusi tentang hubungan Tuhan dalam kehidupan. Di sanalah, bagi sebagain cendekiawan, bermula tentang dan melahirkan ilmu kalam.

Di antara semua wabah yang terus muncul, salah satu yang sangat memengaruhi peradaban Islam adalah apa yang disebut dalam sejarah sebagai Wabah Amwas atau Amawas. Penyebutan ini diterjemahkan ke desa kecil bernama Amwas yang terletak di Palestina antara Yerussalem dan al-Ramlah.

Wabah ini menyerang tentara Arab yang ada di Amwas pada bulan Muharram dan Safar pada tahun 638 dan 639.

Sebanyak 25.000 pasukan yang meninggal dan wabah tersebut meluas ke seluruh daerah Syiria, Irak dan Mesir. Epidemi ini diawali oleh pembelanjaan al-Ramadah yang mengantarkan penduduk Suriah ke Palestina ke dalam kepungan wabah.

Kelaparan, pada masa itu, merupakan penyebab dari pembayaran pajak yang melibatkan makanan dan menurung, juga tikus yang mendukung makanan dan minuman yang bersarang dekat dengan sumber air masyarakat.

Peristiwa ini terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dan Suriah berada dalam kendali gubernur Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Mendengar kabar merebaknya wabah, Umar pulang Abu Ubaidah untuk kembali ke Madinah. Namun dia memilih bertahan di Suriah.

Ini membuat Umar pergi menjemput langsung Abu Ubaidah dan melakukan perjalanan sampai ke Saragh di mana menyediakan pertemuan.

Umar lalu mengadakan musyawarah yang dihadiri oleh petinggi dari kalangan Muhajirin dan Ansar. Belum ada kata persetujuan yang tercipta. Umar, dengan mengutip sebuah hadis tentang larangan Nabi Muhammad SAW untuk memindahkan daerah yang sudah terjangkit wabah, memilih untuk mundur.

Namun Abu Ubaidah setuju untuk tetap bertahan dan tidak berhasil dari takdir yang telah digariskan Tuhan.

“Bayangkan jika kamu berdiri di lembah, satu sisinya hijau oleh padang rumput dan sisi lain kering kerontang. Di sisi mana pun kau akan mengikat gembalamu, menerima takdir yang digariskan Tuhan kepadamu. Engkau Tentu akan memilih sisi yang hijau. ” Begitulah Umar bin Khattab mengundang Abu Ubaidah untuk memindahkan tentaranya ke daerah yang lebih aman. Umar sendiri memilih untuk kembali ke Madinah yang tidak terpapar wabah. Dalam publikasi lain yang ditambahkan, kalimat Umar berbunyi, “Menghindari satu takdir menuju takdir Tuhan yang lain.”

Pertemuan singkat di Saragh tidak hanya menyiratkan tentang bagaimana kecerdasan Umar, tetapi juga memahami bagaimana kaum muslimin dalam menghadapi wabah, tetapi juga memengaruhi perkembangan tentang takdir dan ilmu kalam. Peristiwa itu adalah salah satu yang pertama yang berhasil dalam sejarah.

Meskipun kesemuanya bersandar pada teks Al-Quran dan hadis, namun ada tiga pendapat yang menyeret dalam pertemuan itu: (1) wabah merupakan rahmat sekaligus jalan untuk mati syahid untuk orang-orang yang beriman dan azab untuk orang-orang kafir; (2) Seorang Muslim harus membuka daerah terpapar wabah, namun jika terlanjur sesuai keinginan; (3) wabah tidak mungkin menular, sebab hanya Allah yang bisa membuat seseorang sakit atau pulih.

Pendapat pertama merupakan turunan dari keyakinan yang bertahan lama dalam masyarakat Yahudi dan Kristen, semua musibah adalah teguran dari Tuhan. Wabah Amwas kepada penduduk Suriah karena mereka masih sering meminum minuman keras; dan sebab itu pulalah Umar menerima Abu Ubaidah untuk menyetujui mereka.

Kita tahu, sungguh luar biasa bagaimana para sahabat awalnya berlomba-lomba untuk meregangkan nyawa dalam kondisi syahid. Maka mati terserang wabah, di masa itu, sama bahagianya dengan mati di medan perang.
Begitulah kira-kira Abu Ubaidah memberikan ceramah kepada balatentaranya dan pada pertemuan dengan Umar bin Khattab di Amwas. Dengan begitu indah Ibn Asakir mengutipnya dalam sebuah puisi:

Ribuan nyawa pengendara kuda meregang di Amwas

Bersama wanita-wanita suci nan menawan

Mereka telah bertemu Sang Kekasih

Dan Dia tak mau mengadili

Mereka meninggal, tetapi tidak ada wajah muram di Surga

Kami memegang wabah sakitnya, namun meregang nyawa

Dalam saat-saat paling bahagia

Ada perbedaan pemahaman yang sangat jauh antara kita hari ini, di tengah wabah, dengan Abu Ubaidah. Kematian, berusaha, hanya sebatas pertemuan untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Dan kematian yang sempurna sempurna mati syahid, salah satunya lewat wabah.

Derajat keimanan kita — jika memang demikian — tampak lebih memilih pada pendapat kedua: menjauh dari kota yang terserang wabah. Jika pun berada di tempat, maka tinggal di rumah.

Peristiwa serupa juga dialami oleh Abu Musa al-Asy’ari saat orang-orang datang mengunjunginya di Kufah. Ia lantas menyuruh orang-orangnya pulang karena ada seseorang di dalam rumah yang dilindungi wabah.

Langkah Abu Musa kelak menjadi jalan yang paling banyak dilalui orang-orang Muslim di masa wabah. Di dalam praktiknya terkandung bukan hanya masalah kewaspadaan, tetapi juga keikhlasan untuk menerima segala kondisi, yang kesemuanya berasal dari Tuhan.

Abu Musa tidak mau pulang dan Kufah, karena ia bisa saja menjadi pembawa. Jika memang telah meninggal, ia akan meninggal dengan atau bukan karena wabah.

Abu Ubaidah, dalam sejarahnya, akhirnya luluh dan dapatkan pendapat Umar. Ia pindah tentaranyake dataran Hauran, namun tetap meninggal karena wabah al-Jabariyah beberapa waktu kemudian.

Jabatannya sebagai gubernur digantikan oleh Muadz bin Jabal, namun juga dibatalkan bersama karena wabah. Amr bin al-As, yang baru saja menaklukkan Mesir, lalu menaklukkan orang-orang Suriah menuju bukit dan terselamatkan dari wabah.

Banyak sahabat Nabi yang wafat dalam acara wabah Amwas tersebut, yaitu Abu Ubaidah, Yazid bin Abu Sufyan, Muadz bin Jabal dan ras, al-Fadl bin al-Abbas, Abu Malik al-Anshari, al-Harits bin Hisyam, Abu Jandal, Uwais al-Qarni, juga Suhail bin Amr.

Baca juga Sahabat-sahabat Nabi yang Wafat karena Wabah

Dalam kesedihan yang mendalam, Umar bin Khattab menunjuk Muawiyah bin Abi Sufyan untuk menjadi gubernur Suriah. Di sanalah, Muawiyah menancapkan kekuasaannya sampai kelak menegakkan dinasti yang berhasil bertahan selama tahun.

Sumber :https://islami.co

Pos terkait