Pengelolaan Hutan Lindung dan Produksi Tak Lagi Oleh Perhutani, Aktivis Lingkungan Minta Pemda Segera Bergerak

  • Whatsapp

GARUT, KABARNUSANTARA.ID – lima organisasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup di Garut yaitu Yayasan Tangtudibuana, Institute For Ecological Study (InfESt), Komunitas Konservasi Kadaka, Serikat Hijau Indonesia (SHI-Garut) dan Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Pendukung SK 287, meminta Pemerintah Daerah merespon cepat kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait pengalihan pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi yang saat ini dikelola oleh Perum Perhutani.

Juru Bicara Koalisi Pendukung SK 287, Ebit Mulyana menyampaikan, SK nomor 287 tahun 2022 yang dikeluarkan Kemen KLHK, telah menarik 1 juta hektar lebih hutan lindung dan hutan produksi yang ada di Pulau Jawa dari Perhutani yang kemudian ditetapkan menjadi Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Termasuk, ribuan hektar lahan hutan lindung dan hutan produksi di Garut yang saat ini dikelola Perhutani.

Bacaan Lainnya


Kebijakan ini, menurut Ebit merupakan langkah strategis KLHK untuk memperbaiki tata kelola kawasan hutan di Pulau Jawa demi perbaikan kondisi lingkungan dan juga peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan dengan memberi akses luas pengelolaan hutan yang selama ini didominasi oleh Perum Perhutani.

Karenanya, Ebit meminta Pemkab Garut bisa secepatnya berkoordinasi dengan Kementerian LHK untuk mempertanyakan komitmen pemerintah pusat terhadap perlindungan kawasan hutan yang strategis dan mengawal kebijakan pemberian akses lahan hutan kepada masyarakat.

“Meski terbitnya kebijakan ini tiak ada peran Pemda, tapi dampaknya akan besar pada tata kelola kawasan hutan di Garut, makanya Pemda harus segera berkoordinasi,” katanya.

Ebit menuturkan, saat ini, Perum Perhutani Garut, menjadi pemangku kawasan hutan produksi dan hutan lindung sluas 85 ribu hektar. Jika lahan seluas ini nantinya akan ditetapkan menjadi KHDPK, tentunya sangat strategis dan bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat luas dan kemajuan ekonomi daerah.


Selain pengelolaan oleh masyarakat, Ebit pun mengingatkan soal adanya kawasan-kawasan strategis yang memberi fungsi besar pada keseimbangan alam dan perlindungan keanekaragaman hayati. Pemerintah daerah, menurut Ebit harus meminta komitmen agar KLHK mau menjaga kawasan tersebut dan memberi perlindungan.

“Hasil kajian kami soal aspek kebencanaan, kerusakan kawasan, kebutuhan perlindungan keanekaragaman hayati dan keberlanjutan sumberdaya air, dari 85.000 hektar yang dikelola Perum Perhutani Garut ada sekitar 15.000 hektar yang sangat penting untuk dibuat kejelasan skema pengelolaan dan rencana perlindungan, yaitu wilayah yang menjadi daerah tangkapan dan serapan air sungai yang mengairi Sebagian besar wilayah Garut, baik yang ke utara (sungai Cimanuk) dan ke arah selatan (Cikaengan, Cisangiri, Cipasarangan dan Cikandang),” jelasnya.

Rusaknya kawasan tersebut, menurut Ebit menjadi salahsatu penyebab tingginya resiko bencana alam di Garut mulai dari banjir, longsor, kekeringan dan kekurangan air bersih yang jadi fenomena tahunan yang terjadi di kawasan perkotaan hingga pedesaan.

“Pemerintah daerah tidak bisa abai dan beralasan tidak punya kewenangan mengurus kawasan hutan, Pemda sangat perlu bersinergi dengan pusat, karena ini menyangkut nasib banyak warga Garut ke depan, terutama dalam hal bencana dan ekonomi warga sekitar kawasan hutan,” katanya.


Ebit mengusulkan, Pemkab Garut bisa saja mengajukan opsi, seperti mendorong perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi taman nasional atau Taman Hutan Rakyat (Tahura) yang bisa dikelola langsung pemerintah daerah.

“Tidak berlebihan kalau Pemda meminta 15 ribu hektar dari 85 ribu hektar yang ada jadi taman nasional atau Tahura yang dikelola langsung pemerintah daerah, taman nasional dan Tahura masih ada zona pemanfaatan untuk peningkatan ekonomi masyarakat,” katanya. (*)

Pos terkait