Mitos Dibalik Perayaan Cap Go Meh Bagi Masyarakat Tionghoa

  • Whatsapp

BUDAYA, KABARNUSANTARA.ID – Tahun Baru Imlek kurang meriah kalau tidak ada Cap Go Meh. Kebanyakan orang cuma tahu Cap Go Meh adalah perayaan yang dilakukan orang Tionghoa dua minggu setelah Tahun Baru Imlek.

Biasanya pada tradisi ini ada arak-arakan barongsai dan makan lontong Cap Go Meh dalam acara ini. Seperti yang terlihat di Kabupaten Garut, Minggu (09/02/2020).

Bacaan Lainnya

Ribuan masyarakat berkumpul menyaksikan arak-arakan barongsai di Vihara Srivijaya Dhama di jalan Guntur, Ciwalen, Kabupaten Garut. Usai arak-arakan, masyarakat Tionghoa juga nampak menikmati lontong Cap Go Meh.

Ternyata dibalik serunya Cap Go Meh ada mitos yang tak boleh dikesampingkan.

Dilansir dari Liputan6.com, ada mitos lama yang diceritakan tentang hari Cap Go Meh, yang berlatar di sekitar Kaisar Giok, tokoh sentral agama rakyat Tiongkok.

Menurut mitos, derek hewan peliharaan Kaisar dibunuh oleh beberapa penduduk desa, yang membuatnya cukup marah dan merencanakan hujan di desa pada tanggal 15, tahun lunar.

Mitos mengatakan bahwa lampion merah pernah digantung oleh penduduk desa untuk membuatnya tampak seperti rumah mereka sudah terbakar sehingga Kaisar tidak akan menghancurkan desa mereka menjadi rata dengan tanah.

Untuk menyelamatkan diri, penduduk desa disarankan oleh seorang penatua untuk menggantung lentera merah dan menyalakan petasan agar terlihat seperti desa telah dibakar.

Tertipu, Kaisar Langit membiarkannya tak tersentuh dan sejak saat itu, orang-orang merayakan hari ke 15 Tahun Baru China dengan parade lentera dan petasan.

Dengan demikian, lentera atau lampion menjadi bagian besar dari perayaan Cap Go Meh.

Legenda lain menceritakan bagaimana wanita di China kuno, dulu dilarang bepergian di jalanan dengan bebas. Namun, pada hari ke 15 Tahun Baru Imlek, mereka bebas pergi ke kuil-kuil, mengenakan pakaian terbaik untuk menarik calon pelamar.

Pada perayaan hari Cap Go Meh, mereka yang merayakan biasanya berkumpul untuk makan besar, di mana bola ketan, yang dikenal sebagai “Yuan Xiao”, biasanya disajikan.

Para bakta religius juga memberikan penghormatan kepada Dewa Kemakmuran di kuil-kuil untuk meminta berkah keberuntungan bagi keluarga mereka.

Namun apapun itu mitos yang beredar, penulis berharap agar  kita bisa mengambil berbagai hikmah dan pelajaran. Serta bagaimana dunia bisa bersatu dalam berbagai budaya. (*)

Penulis : Ade Indra

Editor : AMK

Pos terkait