Kisah Nabi Yunus dan Lelah Wabah di Malam Nisfu Sya’ban

  • Whatsapp
Masjid Nabawi di Kota Madinah, tempat Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar As Sidiq dimakamkan.(Shutterstock)

KABARNUSANTARA.ID – Sore itu, telepon pintar saya secra tiba-tiba dibanjiri pesan singkat berisikan permohonan maaf. Saya sedianya mengira kalau dunia mau kiamat. Ternyata perkiraan saya keliru, pesan-pesan itu adalah petanda bahwa pintu langit tengah dibuka dengan selebar-lebarnya yang dilansir dari islam.co.

Ya, ini adalah momen tepat untuk mengetuk, mengadu, dan berseru: betapa manusia telah lelah menghadapi makhluk renik berupa wabah Corona yang tak kasat mata itu. Hingga tengah malam melaju, aduan dan curhatan dalam keputusasaan masih terdengar layu dari toa yang mulai rapuh.

Bacaan Lainnya

Saya jadi teringat pada satu kisah. Konon, medio 750 tahun SM., ada seorang hamba bernama Yunus, yang didapuk sebagai nabi, meninggalkan umatnya karena tidak mau beriman kepadanya.

Menurut kabar yang beredar, Tuhan menghukumnya dengan mengirim ikan paus untuk menelannya hidup-hidup. Setelah 40 hari dalam ketidakberdayaannya, di malam nisfu sya’ban Yunus bertahlil, bertasbih, dan melakukan pengakuan dosa,”la Ilaha illa Anta subhanaka inni kuntu minadz dzalimin”. Tidak berselang lama ia pun dapat keluar dari ikan paus itu.

Kisah Kanjeng Nabi Yunus di atas secara tersurat memperlihatkan jika kelalaian Yunus hanyalah satu, yaitu indisiplin dari tugas nubuwwat-nya. Lalu, bagaimana dengan kita? Jangan-jangan kita sudah jauh dari sifat dasar “manusia” itu sendiri.

Tentu kita semua ingat saat kita hendak didapuk sebagai pengelola (khalifah) bumi ini. Salah satu dari kalangan jin menggunakan hak veto untuk menggagalkannya, dan bahkan makhluk Tuhan paling ihlas, malaikat, harus melakukan protes terhadap rancangan agenda ketuhanan tersebut (Q.S. al-Baqarah, 2:30-34).

Melihat respon dua kawan manusia, Tuhan menjanjikan garansinya. Ia pun melatih manusia dengan segala perangkat lunak berupa pengetahuan tentang dirinya, tugas, dan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi.

Garansi tersebut lalu tampak meyakinkan kelompok malaikat. Sebaliknya, saat penobatan dilakukan, salah satu dari kelompok jin melakukan walkout sebagai bentuk ketidaksetujuannya, hingga ia diganjar sebab indisipliner dan memohon ampunan bersyarat kepada Tuhan.

Pengampunan bersyarat tersebut diterima oleh Tuhan. Kawanan jin itu diberi izin untuk menjadi oposan manusia dan klannya hingga akhir zaman. Keduanya akan selalu memiliki hubungan rivalitas abadi.

Masa training untuk manusia digelar di surga (Q.S. al-Baqarah, 2:35-37). Layaknya sebuah training, tentu saja aturan dibuat sebagai upaya disiplinisasi. Tampaknya, training pertama di surga, manusia langsung dinyatakan gagal dan harus mendapatkan hukuman turun ke bumi.

Ternyata status khalifah di muka bumi itu adalah harga yang harus dibayar untuk kegagalan training di surga itu. Jika misinya sukses ia akan kembali kepada Tuhan dengan penuh kebahagiaan. Jika tidak, maka sebaliknya, ia akan menemani rivalnya di neraka.

Saat ini bumi nampaknya kelelahan menanggung beban kealpaan manusia akan misinya. Jangankan memanusiakan dirinya, segala yang ada di hadapan laju kehidupannya dieksploitasi hingga tak tersisa.

Mungkin saja si bumi mulai mengadu kepada Tuhan akan perih luka yang ia derita. Sebagaimana janjinya, Tuhan selalu konsekuen dengan segala proposal yang Dia terima. Dalam rangka mengingatkan manusia akan misinya, Tuhan cukup menebar mahluk tak kasat mata itu yang bernama wabah. Tujuannya sederhana, yaitu disiplinisasi manusia sebagai pengelola (khalifah), yang, sekali lagi, ini bukan misi kehormatan, melainkan “hukuman” indisiplin atas kegagalan masa percobaan.

Saat ini, di momentum nisfu sya’ban ini, pintu langit sedang terbuka. Manusia ada di saat tepat untuk menegadah dengan kepala merunduk. Bersujud dan berserah diri. Mengakui akan kealpaan diri sebagai manusia. Bermuhasabah akan segala dosa indisiplin kemanusiaan yang telah ia lalui.

Tidakkah kisah Nabi Yunus yang harus mengendap di perut ikan selama 40 hari gara-gara berupaya lari dari tugasnya cukup menampar kita sebagai pengelola bumi yang nir-disiplin?

Apakah ketulian alat dengar dan kebutaan hati sudah begitu akut hingga segala peringatan tak lagi terdengar?

Atau bahkan, di saat upaya melakukan pertaubatan massal, manusia masih memperdebatkan amalan nisfu sya’ban anatara bid’ah atau sunnah. Perdebatan itu tiada guna dan buang-buang waktu. Lakukan saja dengan ikhlas. Mari rapatkan barisan dan berbisik dalam keheningan. Saat ini adalah titik balik akan kemanusiaan kita!

Pos terkait