CANGKUANG; Berziarah ke Pulau Kenangan

Gurat Garit Garutan #7

ADA yang ingin terus berubah dalam aliran. Ya, kekinian yang riak. Namun kenangan niscaya tetap pada kelampauan yang jeluk nan hening. Tempat ke mana rasa dan pikiran akan kembali menziarahi. Mengingat penuh.

Jika demikian adanya, lalu bagaimana kegemilang masa depan dapat dibayangkan? Tanpa kenangan yang silam adalah musykil.

Dengan melupakannya kita semisal tanpa akar untuk berkembang. Apalagi berbuah. Selamanya akan terombang-ambing angin serta riak permukaan yang banal hasil konstruksi kuasa lian.

Dan jika sejarah itu adalah pohon (syajaroh), bukankah akarnya musti menghujam ke tanah dalam untuk tumbuh menjangkau tinggi langit?

Tanah subur di mana pohon tumbuh, berkembang lalu berbuah. Itu adalah kenangan. Sebagai cipta yang hanya bisa dicerap oleh kehalusan dan kejernihan daya budhi sebagai manusia. Dia adalah arche-type kebudayaan yang telah menuzulkan pengetahuan suci. Mengukuhkan sikap serta moral yang kemudian terejawantah dalam perilaku personal, juga pranata sosial.

Jadilah ia artefak dalam sejarah kita. Sebentuk “kisah” langitan kini tegas menapaki sejarahnya di bumi. Maka jelaslah, bahwa kenangan itu terlalu manis untuk dilupakan.

Sebagaimana juga alur waktu, serupa alir air tak putus dari lubuk mata yang bening nun jauh di pegunungan. Nun jauh di girang. Kita hanya menyaksi di hilir. Pun, setelah tampak menguning dengan aroma tak ramah. Kita telah kadung menerimanya. Menganggap biasa, lalu membiarkan kekeruhan itu berlangsung memutus aliran kebeningan. Mengasingkan yang asali, yang “girang” itu.


Di Cangkuang, kenangan itu sunyi tersimpan. Jejak kekinian dan kelampauan berdampingan dalam satu landskap ruang. Meski makin renggang bertaut.

Wisata adalah kekinian. Sejenak dapat melepas penat dari kesibukan padat. Di seberang danau bermukim kelampauan kenangan. Jadi artefak kebudayaan Kampung Pulo.

Saat sampan mulai dikayuh ke pulau kenangan, meski hanya berjarak puluhan meter, sesungguhnya sedang berlayar ke masa lalu yang lengang. Ketika hijab kekinian diterobos rakit, akan terbuka dicerap kisah kehidupan yang mengenangkan itu.

Kenangan apa diantaranya?. Seketika mengapung di atas danau pandangan disergap panorama estetik. Segera terpantik kisah akan Alam dengan jejaring ekosistemnya sebagai landasan ruang yang menyangga dan melayani kehidupan semua mahluk. Di hamparannya sejarah kemanusiaan bergulir.

Tiba di gerbang kampung, kenangan diantarkan pada kisah kemanusiaannya. Diantara yang menyingkap kuat adalah cerita keperempuanan, feminitas, yang mewujud adat matrilineal. Ini mengingatkan kenangan akan “Indung Tunggul Rahayu”.

“Kaindungan” yang jamaliah jadi langit menaungi bagi bentuk dan praktek kebudayaan. Merawat tujuh sumur air, pengelolaan pangan, pewarisan, hingga tata ruang dan arsitektur rumah adalah ragam ekspresi Kaindungan itu.

Ingatan kembali tertegun di depan dua makom keramat berjejer. Ini jejak kepemimpinan yang berhidmat pada Indung. Semisal dilahirkan anak lelaki, maskulinitas, untuk menjaga dan memelihara khasanah perbendaharaan Indung. Jadilah pemimpin itu “Bapa Tangkal Darajat” bagi rahayat. Itu Bapa Aing !!.


Sampan telah ke dermaga masa kini dengan membawa segar kenangan. Tinggal bagaimana melarapkan kenangan yang bihari itu di wanci kiwari ? Di sini kerja-kerja kebudayaan jadi tantangan dalam proyeksinya ke hari esok.

Karena kekinian tak selalu riang, bahkan kebanyakan murung jiwa. Dan karena keberadaan ini adalah jaringan yang saling terhubung dalam kerahmatan. Maka memutusnya jadi tindakan yang beresiko kelaknatan. Setidaknya menghubungkan kembali alur waktu lalu, kini dan esok bisa jadi harapan penyembuh lara.

Dalam konteks kepemimpinan lokal hari ini dengan taglen “Garut Hebat”, dan dari menimba kenangan Cangkuang, menjadi layak dirumuskan kembali semacam “Strategi Kebudayaan Garut Hebat berlandaskan Kaindungan”.

Sekali lagi, ini siasat kebudayaan menuju hari esok, yaitu ikhtiar mencipta langit “Garut Pangirutan” kembali, ditengah kungkungan langit kedaruratan kekinian yang “Garut tinggal urut”.

Cag, Rampes..(*)

Penulis: Asep Maher, Budayawan Kabupaten Garut.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan