CANGKUANG (2); “Kaindungan”, dan Strategi Kebudayaan kita

Gurat Garit Garutan #8

MELANJUTKAN garitan sebelumnya, tentang menziarahi pada “Kenangan Cangkuang”. Ada yang menyingkap dari awan kelupaan, jadi rindang ingatan akan keindahan dan khasanah feminitas, Kaindungan.

Mengingat balik Langit Baik

Kali ini soal cara merawat ingatan lampau yang berkaromah itu pada hari ini, untuk terealisasikan keberkahannya di masa depan. Serupa gerak mudik ke masa lalu yang baik, dimana “the good beyond being”. Segugus langit metafisika kebudayaan yang menaungi, darinya hujan berkah akan menuzul.

Di sini, sunnah waktu dijajarkan kembali dalam kontinum alurnya, setelah keterputusannya. Bahwa kekinian adalah spektrum kenangan masa lalu yang membuka harapannya akan masa depan. Jika masa depan yang diharapkan itu kita temakan sebagai “Garut Hebat”, “Jabar Istimewa”, ataupun “Indonesia Emas”, adalah keberkahan yang mesti tersituasikan dari langkah balik tersebut.

Ibarat menanam kembali pohon pituin kita, syajaroh thoyyibah, pada landasan tanahnya yang subur, lalu dijaga-dirawat dengan sungguh, maka akan tumbuh lugas dengan sendirinya, lantas berbuah segar di kemudian. Tiba di sini, kemungkinan ke depan akan terbuka di saat gerak balik kembali. Masa depan tak lain adalah masa lalu.

Kedaruratan, dan mortalitas keberadaan

Lalu, pada latar apa ingatan pada kenangan terdalam itu wajar terpantik dan terarahkan ?, ialah kedaruratan. Situasi darurat telah merupa ancaman kedapat-matian seluruh keberadaan di bumi. Cerita tragedi akan mortalitas segala keberadaan, manusia dan alam.

Diksi “Indonesia gelap”, “Pasundan ngarangrangan”, “Garut tinggal urut” sesungguhnya sedang melukiskan wajah-wajah kedaruratan. Seraut kesuraman kondisi yang terpapar dari langit kebudayaannya yang tertentu. Jika boleh menunjuk, itulah cakrawala kebudayaan Modernitas-materialistik-kapitalistik yang mendaku cerah dan lama dijunjung. Telah melahirkan etik dan moralitas gagah nan lancung menaklukan segala hal. Sesosok subjektivitas maskulin, yang dingin dan tak mau peduli. Alhasil mengkandaskan kenyataan pada negativitas totalnya.

Dalam iklim teror kepunahannya, wajah pucat yang lian itu telah menyandera rasa dalam lengang nafasnya, menginterpelasi budhi dalam sunyi diamnya. Seolah menginterupsi yang budaya dan memanggilnya bersikap peduli. Ketersanderaan, ketergugatan dan keterpanggilan itu mengusik etik dan moral kemanusiaan. Lalu laku nyungsi wiwitanpun jadi gerak kebudayaan yang mungkin, untuk memancang kembali langit terang dan menyingsing perlahan langit gelap. Demi usik di peralihan wanci, mencipta ulang nuansa spektrum cahaya di ruang akasa pikir kita.

Irut “Ratu Inten Dewata” sebagai “Master Signifier”

“Lamun wayah geus lara, baralik anjeun ka Kabuyutan”. Demikian pitutur Leluhur waskita. Sebuah diktum aksiomatis akan hukum waktu dan keberadaan yang siklis. “Yang Buyut” itu buhun. Dia terdahulu, luhur, larang dan sumber inspirasi. Lalu menjelma dalam Puun ; kepala, mastaka, sirah. Sebagai huluwotan, girang dari aliran airnya ke hilir. Oleh karenanya “Yang Buyut’ ini senantiasa fitrah, hanif, mitis, sakral serta itelejibel imajinal. Kabuyutan adalah hal-ihwal tentang itu semua.

Kita masih mengingat akan Garut “Kota Intan”, yang itu bersilsilah lekat kepada mitologi, kisah mitis “Nyi Mas Ratu Inten Dewata”. Yang mitos itu mistikos, dia tersembunyi dalam kerahasiahannya yang terjaga. Dia tetap jelita adanya tak ternoda, terpatri dalam Imaji murni daya budhi. Dialah status ontologis kejamaliahan sebagai yang baik, the good beyond being, horizon kebaikan yang mendahului segala keberadaan yang historik.

Sebagai idea langitan, kisah yang baik ini adalah purwa carita di altar sejarah. Yang tunggak dan merembesi halus setiap watang dan ranting peristiwa budaya dengan perkembangannya. Ialah “Indung tunggul rahayu”. Darinya bertumbuh cerita watang tentang yang tegap ; “Garut Pangirutan”, “Mooi Garoet”, “Fatat Garoet”, “Swiss van Java”, terkemudian “Kota Intan”. Semua itu menunjuk pada khasanah perbendaharaan Indung yang kasih, indah, damai, lagi murah memberi karena kaya melimpah. Semempesona Inten.

Di sini, Kaintenan yang sarat nilai ilahi dewata itu, semisal penanda utama bagi ciri dan cara kebudayaan, sebuah “Master Signifier of Culture”. Inilah Kabuyutan dalam kisah Archetype-nya untuk jadi cerita dan peristiwa Arketifal. Kepada penanda utama ini cerita akan selalu disusun dan diorientasikan. Saat zaman kedaruratan melarakan, kembali kepadanya jadi kemestian eksistensial ; personal juga sosial. Saat Garut tinggal bekas gurat-gurat kecantikannya karena tak terurus, disitu Kota Inten jadi Kota Dodol, itulah saat untuk balik. Kalau Dodol Garut sih lezat, segurih Burayotnya, juga sate dombanya.

“Indung Aing”, dan khasanah Ekosistem “Sumur, Dapur, Kasur”

Apa khasanah perbendaharaan Indung yang objektif emprik itu ? dialah “Ekosistem Sumur-Dapur-Kasur”. Sumur adalah air. Merepresentasikan ekosistem lingkungan alamnya yang subur. Hamparan lanskap alam dengan pohon-pohon menyejukan dan sungai-sungai mengalirkan kesegaran dari wilayah gunung-gunungya hingga tiba awor di muara-muaranya. Sehamparan taman surgawi yang elok betah ditinggali. Jannah bagi Sakinah.

Di atas hamparan tanah-air indah nan subur itu, tumbuhlah ragam tanaman pangan yang unggul lagi menyehatkan. Halalan thoyyiban. Aneka jenis pangan primer, sekunder dan tersier bertumbuh kuat. Setiap jengkal tanah adalah berkah keberlimpahan material, di atasnya juga kandungan di dalamnya. Inilah ekosistem Dapur Indung yang kaya raya itu.

Kasur itu ekosistem regenarasi. Dari rahim Indung yang sehat, dalam pelukan kasih dan asupan nutrisi pangannya itu terlahirlah anak-cucunya. Dalam asuhan dan atikan budak cikal lalaki Indung (Pemimpin, Bapa Aing) dengan etik dan moral syukurnya, yakni ajrih, menjaga dan memelihara khasanah Indung, terjagalah regenarasi yang sehat, cerdas dan unggul. Barudak Indung nu cageur, bageur, bener, pinter.

Alkisah, “Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati “. Bagaimana ceritanya hingga, “Kini Ibu sedang lara, merintih dan berdoa?”. Apa gerangan yang membuat, “Air matanya berlinang, mas intan yang kau kenang?”. Mungkinkah kita, anak-anaknya kini, telah lupa dan meninggalkan Indung ? hingga situasi kedaruratan ini serupa tulah yang pantas diterima atas kelupaan itu ?. jika begitu, syahdan, seperti Malin Kundang, kita telah Katundung Indung.

Sebuah Strategi Kebudayaan “Garut Hebat” untuk “Jabar Istimewa”

Dari muhasabah atas kedaruratan “Garut tinggal urut”, lalu terpantik ingatan akan kenangan “Kaindungan” yang terpatri pada sosiofak di Kampung Pulo Cangkunag, ini sebentuk tantangan daya budhi kemanusiaa kita. Maka sebuah strategi kebudayaan dapat kita pikirkan kembali di sini.

Sebagai pertaubatan kebudayaan, gerak balik kepada Indung, sebuah metafisika yang menjadi langit kebudayaan dapat dirumuskan kembali. Darinya menurunkan cara-cara, praktek dan bentuk kebudayaan hari ini ke depan. Dengan kembali pada kisah archetype buhun “Ratu Inten Dewata” kemudian menjadi “Garut Inten” sebagai Penanda Utama Kebudayaan, semua itu adalah khasanah Kaindungan. Jamaliyaah Feminitas ini yang dalam menapaki guliran masanya jadi tema dan praktek budaya “Garut Pangirutan”, “Mooi Garoet”, “Swiss van Java” dan “Kota Intan”.

Hari ini, dengan visi Kepemimpinan Daerah “Garut Hebat”, visi Kebudayaan di atas kiranya dapat diusulkan. Semacam Strategi Kebudayaan Garut Hebat. Tentunya bukan untuk mengganti Visi Garut Hebat, tetapi hanya sebagai elemen komplenter saja, dengan isu-isu strategis dan agenda-agenda taktisnya yang panyelang transisionl dan minimalis saja.

Dari “Garut Hebat” untuk “Jabar Istimewa”, dari “Indung Aing” untuk membersamai “Bapa Aing”.

Cag, Rampes..(*)

Penulis: Asep Maher (Budayawan Kabupaten Garut)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan