Ada 7 Alasan Buruh Mau Mogok 3 Hari Tolak RUU Cipta Kerja

  • Whatsapp
ilustrasi (Antaranews)

JAKARTA, KABARNUSANTARA.ID – Jutaan orang buruh yang tersebar di berbagai daerah memiliki rencana akan menggelar aksi mogok  nasional selama tiga hari (6-8 Oktober). Alasannya tidak lain untuk menolak RUU Cipta Kerja yang disepakati lanjut ke sidang paripurna untuk disahkan.

“KSPI dan buruh Indonesia beserta 32 Federasi serikat buruh lainnya menyatakan menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan akan mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020. Mogok Nasional ini akan diikuti sekitar 2 juta buruh,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam keterangan resmi, Minggu (4/10/20).

Bacaan Lainnya

Dijelaskan Said bahwa ada tujuh poin yang ditolak buruh dan menjadi alasan untuk dilakukan mogok nasional. Berikut alasannya:

1.UMK Harus Bersyarat

Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat memerhatikan laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus dalam RUU Cipta Kerja.

Menurut Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Sebab UMK setiap kabupaten/kota berbeda nilainya. Dia juga tidak setuju jika UMK di Indonesia dibilang lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Jika diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, UMK di Indonesia disebut jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.

“Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” ucapnya.

Bahkan UMSK harus tetap ada. Sebagai jalan tengahnya penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK bisa dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja, sehingga UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK agar ada keadilan.

“Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” sebutnya.

2. Pesangon Dikurangi Jadi 25 Kali Upah

Bahkan buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah yang mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Ia mempertanyakan dari mana BPJS mendapat sumber dana untuk membayar pesangon.

“Karena tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan. Bisa dipastikan BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program JKP Pesangon dengan mengikuti skema ini,” tuturnya.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

3. Kontrak Kerja Seumur Hidup

Buruh menolak adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) seumur hidup tanpa batas waktu kontrak bagi pekerja.

“Buruh menolak PKWT seumur hidup,” ujar Iqbal.

4. Outsourcing Seumur Hidup

Pekerja outsourcing disebut bisa seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing.

“Padahal sebelumnya outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan,” katanya.

5. Baru Dapat Kompensasi Minimal 1 Tahun

“Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan, buruh kontrak yang mendapat kompensasi adalah yang memiliki masa kerja minimal 1 tahun. Pertanyaannya, bagaiamana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun? Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan konpensasi,” kata Said.

Hal itu ia nilai bisa menjadi masalah serius bagi buruh. Alasannya pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing menjadi tidak jelas. Pengusaha bisa mengontrak buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar kompensasi. Intinya, kata Iqbal, tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia.

“Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70% sampai 80% dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya Omnibus Law, apakah mau dibikin 5% hingga 15% saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi?” tanyanya.

6. Waktu Kerja yang Eksploitatif

Buruh menolak waktu kerja yang disepakati dalam RUU Cipta Kerja karena dinilai bersifat eksploitatif.

“Buruh menolak jam kerja yang eksploitatif,” ucapnya.

Berdasarkan materi ringkasan yang diterima detikcom, waktu kerja dalam RUU Cipta Kerja diatur lebih fleksibel untuk pekerjaan paruh waktu menjadi paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sedangkan untuk pekerjaan khusus seperti di sektor migas, pertambangan, perkebunan, pertanian dan perikanan dapat melebihi 8 jam per hari.

7. Hak Upah di Cuti yang Hilang

Said mengakui memang hak cuti melahirkan dan haid tidak dihilangkan, tetapi selama cuti tersebut buruh menjadi tidak dibayar. Itulah yang tidak disetujui oleh para buruh.

“Yang hilang saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar, no work no pay. Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut,” sebutnya.

Dia ingin selama cuti haid dan melahirkan tersebut buruh tetap diberikan haknya sebagai pekerja. Jika buruh tidak dibayar selama cuti, menurutnya telah bertentangan dengan Organisasi perburuhan internasional (ILO)

“Otomatis peraturan baru di omnibus law tersebut tentang cuti haid dan hamil hilang karena dibuat untuk tidak bisa dilaksanakan. Jelas aturan ini bertentangan dengan konvensi ILO yang mengatur bahwa buruh yang mengambil hak cuti maka harus dibayarkan upahnya,” tuturnya.

Pos terkait